pemerintah Deandels (1808-1811)

Di awal Januari 1795, Napoleon menaklukkan negeri Belanda tanpa perlawanan yang berarti. Raja Willem V melarikan diri dan bersembunyi di Kew, sebuah kota kecil di Inggris. Sebagai ganti Willem V, Napoleon mendudukkan adiknya, Louis Bonaparte, di tahta kerajaan Belanda. Segera ia memerintahkan untuk mengantisipasi serangan dari Inggris terhadap tanah jajahan. Ada tiga target utama serangan Inggris yaitu; Tanjung Harapan, Jawa dan kepulauan Maluku. Ketiga tempat tersebut berada didalam blokade angkatan laut Inggris. Napoleon pun mengirim dua orang militer untuk tujuan itu. Jendral Jan Willem Janssen di kirim ke Tanjung Harapan tahun 1803 dan Marshall Herman Willem Daendels ke Jawa tahun 1808.
H.W. Daendels adalah seorang jendral Belanda, pengagum Napoleon dan Jacobis. Ia memimpin perlawanan yang gagal terhadap kerajaan Oranje pada 1787. Setelah kegagalannya, ia lari ke Prancis. Ia kembali ke Belanda, 1795, bersama serangan Prancis. Sejak itu, Belanda terlibat dalam perang Eropa di pihak Prancis. 1797, Daendels memimpin 30.000 pasukan Belanda di Texel, menunggu invasi Inggris yang sedang dalam pertempuran laut di Camperdown. 1799, ia hampir menjadi tawanan perang di pertempuran Helder.
Di awal 1800-an, Inggris dan Prancis mengkonsentrasikan kekuatan perangnya di wilayah India dan Mesir. Secara tak terduga Tanjung Harapan sebagai pelabuhan strategis dapat di kuasai Inggris tahun 1806, Jawa berada dalam posisi terancam. Jawa membutuhkan seorang gubernur-jendral baru yang dapat memperkuat pertahanan militer. Untuk alasan itu, Napoleon tidak mempercayai pejabat Asiatic Council, Dirk van Hogendorp, seorang liberalis yang dicalonkan sebagai gubernur jendral. Maka pilihan jatuh pada Daendels.
Daendels menempuh perjalanan melalui Cadix, Tanger, Kepulauan Kanari dan New York. Dengan kapal dagang berbendera Amerika, Daendels tiba di Batavia pada Januari 1808. Amerika adalah negara netral yang tidak terlibat dalam perang Eropa. Kedatangannya seorang diri menggunakan nama samaran van Vlierden (nama istrinya) dengan kapal tersebut, dimaksudkan untuk mengelabui blokade kapal perang Inggris. Kedatangannya di Batavia, ia langsung berhadapan dengan keadaan keuangan dan administrasi yang buruk. Korupsi membuat bangkrut VOC. Keuntungan dagang lebih banyak masuk ke kantong pejabat VOC. Kekuatan pasukan Belanda di Jawa tidak lebih dari 2.000 orang dengan kemampuan dan disiplin yang rendah.
Pada saat yang hampir bersamaan dengan dikuasainya Belanda oleh Prancis, VOC dibubarkan. Herren XVII (dewan beranggotakan 17 orang pengusaha besar Belanda) ditiadakan. Sebagai gantinya, seluruh jajahan Belanda langsung berada dibawah penguasaan kerajaan Belanda dan diurus oleh kementerian jajahan (Pemerintah kolonial Belanda di Nusantara menguasai Jawa, Palembang, Makassar dan Maluku, sisanya dikuasai oleh Inggris). Pengaruh langsung dari pergantian itu adalah soal otonomi pengaturan keuangan dan pembentukkan angkatan perang.
Segera setelah menginjakkan kakinya di Weltevreden, Daendels mengganti bendera Belanda di depan kantor gubernuran dengan bendera Prancis. Tak ada seorang pegawai pun yang berani bereaksi atas tindakannya itu. Begitu pula ketika ia mengeluarkan aturan bahwa pegawai pemerintah kolonial dilarang untuk memberi dan menerima hadiah dari pejabat pribumi. Setiap kesalahan akan ditindak dengan keras dan tak luput dari dampratan dengan suaranya yang sangat keras. Hobi membentak dan suaranya yang menggelegar membuatnya mendapat panggilan mas guntur dan mas galak. Berdiri di atas ketaatan para pegawainya, ia membangun pasukan dalam jumlah dan organisasi yang cukup mengesankan. Pasukannya terdiri dari orang-orang Belanda dan pribumi. Ia menghentikan penggunaan orang-orang Jawa dalam pasukan inti nya dan menggantinya dengan orang-orang dari Madura, Makasar, Bali, Ambon dan budak-budak dari wilayah jajahan lainnya. Sistem kepangkatan dalam organisasi militer eropa diterapkan pula dalam pasukan pribumi. Mereka mendapat latihan, pangkat, ransum, seragam, senjata dan juga upah. Dalam dua tahun, ia berhasil membentuk 20.000 orang pasukan yang terdiri dari lima divisi; divisi mobile, tiga divisi kota (Batavia, Semarang, dan Surabaya) dan divisi pertahanan di luar Jawa. Ia mengatur korps tentaranya dengan gaya Prancis dan mengubah banyak industri komersial menjadi industri militer, seperti pabrik-pabrik di Gresik menjadi senjata dan di Semarang diubah menjadi penghasil mesiu.
Sebagai bagian dari proyek militernya, Daendels juga membangun instalasi militer seperti pelabuhan militer di Surabaya dan benteng di Mester Cornelis serta sebuah jalan utama dari Anyer hingga Panarukan. Sebelumnya, hanya ada jalan setapak yang diketahui oleh penduduk setempat dan itupun selalu disertai dengan penebasan hutan. Jalur perdagangan lebih mengutamakan penggunaan jalur laut sepanjang pantai utara.
Kesulitan jalur darat itu memang telah menjadi perhatian pihak kolonial seperti yang dituturkan oleh Francois Tombe. Tombe adalah seorang perwira Prancis yang dikirim oleh Daendels dua tahun sebelum kedatangannya. Tugasnya adalah membuat peta selat Bali. Sayangnya, ia terdampar di Banyuwangi dan kemudian memutuskan melakukan perjalanan ke Surabaya. Perjalanan itu memakan waktu enam bulan.
Dari sekian banyak proyek Daendels dalam kurun waktu tiga tahun kepemimpinannya, pembuatan jalan utama Anyer-Panarukan adalah yang paling besar pengaruhnya. Bahkan diluar yang dibayangkan olehnya sebagai fasilitas yang mempercepat mobilitas pasukan (Dengan kekuatan lautnya, Inggris mempunyai kemungkinan untuk mendarat dimanapun sepanjang pantai utara Jawa. Oleh karena itu, mustahil bagi Daendels untuk terus mengawasinya. Baginya, adalah paling penting membangun pasukan infanteri dengan mobilitas yang tinggi untuk mengantisipasi penyusupan lebih jauh dari pasukan Inggris). Belum diperoleh waktu yang tepat kapan pembuatan jalan tersebut dimulai. Hanya saja, bersamaan dengan pembuatan jalan, ia juga mendirikan jasa pos dan telegraf yang kemudian menjadi nama jalan Anyer-Panarukan, groote postweg (jalan raya pos). Tercatat pada 1810 Daendels telah membeli 200 ekor kuda — alat pengangkut pos — yang menandakan jalan Anyer-Panarukan telah selesai. Pada tahun ini juga ia menghidupkan kembali surat kabar yang sebelumnya pernah terbit dan mati, Bataviasche Koloniale Courant. Surat kabar ini terus terbit hingga berakhirnya kekuasaan kolonial di Indonesia.
groote postweg di buat dalam jangka waktu sekitar satu tahun. Pembuatannya memaksa pada penguasa pribumi setempat, yang dilewati jalan tersebut, untuk mengerahkan penduduk di wilayah cacah-nya. Jarak yang ditempuh oleh Groote postweg adalah sekitar 800 mil. Dalam jarak itu, dibangun 12 pesanggrahan, 126 stasiun untuk kereta, 51 stasiun untuk penggantian kuda-kuda pos, semuanya didirikan atas tanggung jawab bupati setempat. Menurut laporan yang didapat oleh Raffles, pembuatan jalan tersebut memakan korban sekitar 10.000 orang. Dalam situasi perang Inggris-Prancis di Nusantara, seluruh aktivitas Daendels dipantau oleh biro urusan intelejen Inggris yang berpusat di Penang.
Februari 1808, Du Fuy menghadap Sultan Banten untuk meminta pekerja untuk pengerjaan jalan dan pembuatan pelabuhan militer di Merak. Sultan Banten yang berseteru dengan pemerintah kolonial sejak masa VOC menolak. Ia melihat peperangan antara Inggris dan Prancis memberikan kesempatan baginya untuk memberontak apalagi pasukan Daendels dianggap belum cukup siap untuk menghadapi peperangan. Atas alasan itu, ia membunuh Du Fuy dan menghabisi seluruh garnisun kecil pemerintah kolonial di Banten. Atas tindakannya itu, segera Daendels mengirim 1.000 pasukan yang dipimpinnya langsung. Kesultanan Banten berhasil dikuasai bahkan Daendels sambil duduk di tahta kerajaan berujar, “akulah raja Banten”. Kesultanan Banten kemudian dihapus dan ia mengirim saudaranya untuk menjadi residen di sana (Kemudian hari ia merehabilitasi kesultanan Banten dan menentukan siapa yang duduk di tahta kerajaan. Banten tidak sepenuhnya aman dari gangguan karena sering adanya pemberontakan yang dibantu oleh Inggris.)
.
Sebagai penganut jacobism, Daendels menghancurkan kekuatan raja-raja Jawa. Setelah Banten, ia mencoba mengatasi kesultanan Yogyakarta. Mangkunegara II di Surakarta telah memutuskan untuk bekerjasama dengan Belanda. Atas perintah Daendels pada 1808, Mangkunegara II mendapat pangkat kolonel dan membentuk Legiun Mangkunegara beranggotakan 1.150 prajurit serta mendapat bantuan 10.000 ryksdaalders pertahun. Sementara itu, Saudara ipar Sultan Hamengkubuwana II, Raden Rangga melancarkan pemberontakan atas Daendels yang secara diam-diam mendapat dukungan dari Sultan Hamengkubuwana II. Dengan 3.200 pasukan, Daendels dapat mengatasi pemberontakan. Pangeran Rangga terbunuh dan Sultan Hamengkubuwana II diturunkan dari tahta serta digantikan oleh putra mahkota. Atas pembangkangan itu, dua orang pangeran, Natakusuma dan Natadiningrat, dikirim ke penjara Cirebon.
Menjelang akhir jabatannya, Daendels menghadapi banyak persoalan. Perjalanan kepemimpinannya telah membangun tembok kebencian baik dikalangan Belanda maupun Pribumi. Beberapa suku yang menjadi anggota pasukannya membelot dan menolak berperang di pihaknya. Belum dapat dipastikan apakah itu ada kaitannya dengan kegiatan intelejen Inggris.
Proyek besar Daendels memakan banyak biaya. Sementara keadaan keuangannya semakin memburuk. Blokade Inggris menyebabkan hilangnya pemasukan dari sektor perdagangan. Bahkan untuk mata uang, Daendels harus mengeluarkan assigant (Mata uang kertas yang biasa digunakan di Prancis) sebagai pengganti mata uang tembaga yang bahannya harus diimpor. Satu-satunya pemasukan yang diperolehnya adalah dari pajak (Pajak dikenakan pada penjualan barang, tol jalan, penjualan & penyewaan tanah, judi, rumah madat dan banyak lagi.), pencetakan assigant, dan penjualan tanah seperti. Contoh penjualan tanah seperti yang berlangsung pada wilayah Besuki dan Panarukan kepada Kapiten Cina di Surabaya, Han Chan Pit. Terakhir ia menjual tanah seluas Besuki dan Panarukan di Probolinggo kepada saudara Han Chan Pit, Han Ki Ko.
Pada masa Daendels, ia memindahkan ibukota pemerintahan dari Batavia ke Weltevreden dan memindahkan tempat tinggal dari Batavia ke Buitenzorg (Bogor). Dengan gajinya, 130.000 guilders, ia membeli tanah Buitenzorg ke pemerintah dan membangun sebuah istana megah bagi dirinya yaitu Istana Bogor. Tanah disekitar istana dijual kembali ke pengusaha Cina dan istananya dijual kembali kepada pemerintah. Pada saat hendak digantikan oleh W. Janssens, Daendels menjual istananya. Untuk penjualan itu, ia mendapat untung 900.000 guilders. Pada 27 April 1811, W. Janssens datang disertai oleh seorang mayor jenderal Prancis, Jumel. Segera Daendels diganti dan dipulangkan. Sebagai seorang tahanan.
4 Agustus 1811 60 kapal perang Inggris muncul di Batavia. 26 Agustus seluruh wilayah disekitar Batavia dapat dikuasai. Janssens bertahan di Semarang bersama legiun Mangkunegara dibantu pasukan Yogyakarta dan Surakarta. 18 September 1811, Janssens menyerah di Salatiga.
1 Comment
Masa Inkubasi Menjadi Indonesia
May 17, 2007, 9:30 pm
Filed under: Menjadi Indonesia
Indonesia sebagai negara yang merdeka lahir dari sebuah gagasan sistematis tentang kebebasan, penindasan dan keterlepasan dari perlakuan diskriminasi oleh pemerintah kolonial Belanda. Gagasan yang menjadi inspirasi munculnya semangat kebangsaan. Gagasan yang melahirkan pernyataan politis, sebuah manifesto menuntut kemerdekaan kepada pemerintah kolonial Belanda. Manifesto itu pertama kali muncul pada azas sebuah organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda bernama Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) yang tertera dalam Gedenkboek Indonesische Vereeniging, 1908-1923 (Buku Peringatan Perhimpunan Indonesia 1908-1923). Buku ini terbit pada tahun 1923 dengan sampul gambar bendera merah putih dengan kepala banteng di tengahnya. Kemudian, Perhimpunan Indonesia mengganti nama jurnalnya dari Hindia Poetra menjadi Indonesia Merdeka pada Maret 1924.
Apa yang terjadi di dalam tubuh organisasi Perhimpunan Indonesia dengan sebuah gagasan dan cita-cita tentang Indonesia yang merdeka tidak muncul begitu saja. Ia berasal dari kesadaran diri atas harga diri kultur dan tradisinya, serta pemahaman atas gagasan tentang politik modern beserta ideologi-ideologi besar yang berkembang di Eropa. Ada masa ketika gagasan tentang kebebasan dan perlawanan atas perlakuan yang diskriminatif hanya berkembang di masyarakat Eropa di negeri Belanda dan Hindia Belanda dan sama sekali tidak ada keterlibatan orang-orang bumiputera di dalamnya. Inilah masa pra-nasionalisme atau masa inkubasi ketika gagasan tersebut masih diserap sebagai proses pembacaan wacana sebelum diterjemahkan oleh kaum bumiputera sebagai politik perlawanan.
Politik Etis
Gagasan yang menyuarakan semangat kebangsaan dan kemerdekaan untuk lepas dari ketertindasan tidak muncul secara tiba-tiba. Menjelang berakhirnya Cultuur Stelsel tahun 1870, berkembang gagasan tentang emansipasi dan tuntutan otonomi pemerintahan untuk lepas dari negara induk, Kerajaan Belanda. Gagasan tersebut muncul dari kontradiksi yang terjadi dalam pemahaman modern atas pengelolaan negara di Hindia Belanda. Cultuur Stelsel dan proses industrialisasi di Hindia Belanda menjadi sumber keuangan bagi kehidupan sosial-ekonomi kerajaan Belanda. Yang terlupakan adalah pembangunan dan kesejahteraan di tanah Jawa. Munculah permasalahan sosial yang menyangkut masalah kesejahteraan dan kemiskinan kaum bumiputera. Sikap kritis terhadap kebijakan pemerintah kolonial menjadi artikel yang terus muncul di media cetak, terutama yang terkait pengelolaan anggaran keuangan dan kebijakan perekonomian modern.
Pada awalnya, gagasan ini bergema hanya dikalangan orang-orang Eropa. Hak suara yang dimiliki oleh setiap orang Belanda, setibanya di Hindia Belanda akan hilang. Penyampaian kehendak politik hanya disalurkan melalui surat permohonan dan sering kali tidak ada hasilnya. Di Hindia Belanda, berturut-turut, hirarki keputusan politik berada di tangan pemerintahan di Batavia (departemen dalam negeri), Bogor (kediaman Gubernur Jenderal) lalu Den Haag (parlemen Belanda). Hal ini disebabkan adanya peraturan di Pasal 111 Regerings Reglement yang melarang setiap perkumpulan, perserikatan dan rapat yang bersifat politik.
Kritik serta penentangan di masa kebijakan Cultuur Stelsel tercetus di negeri Belanda. 1848, konstitusi liberal di negeri Belanda memberikan parlemen Belanda sebuah peranan yang cukup berpengaruh atas urusan-urusan daerah Jajahan. Segera kelompok oposisi bersatu di parlemen mengajukan tuntutan perubahan di Hindia Belanda. Mereka terdiri dari kelompok liberal dan sosial demokrat. Tuntutan kaum liberal berpijak kepentingan kelas menengah Belanda yang tumbuh besar dari keuntungan perekonomian Belanda yang diperoleh dari Hindia Belanda. Tuntutan itu berupa: pengurangan peranan pemerintah dalam perekonomian kolonial secara drastis, pembebasan terhadap pembatasan-pembatasan perusahaan swasta di Jawa, dan diakhirinya kerja paksa dan penindasan terhadap orang-orang Jawa dan Sunda. Sementara bagi kaum sosial-demokrat di parlemen, prinsipnya adalah bertujuan meningkatkan kesejahteraan dan perkembangan moral penduduk; evolusi ekonomi; serta pertanggungjawaban moral kepada kaum bumiputera.
Pada 1860, seorang mantan pejabat kolonial bernama Eduard Douwes Dekker menerbitkan novel berjudul Max Havelaar di Belanda. Novel tersebut menceritakan tentang penindasan dan prilaku korupsi yang dilakukan pemerintah kolonial beserta aparatnya di Jawa (Lebak). Max Havelaar menjadi senjata yang cukup berpengaruh untuk menyampaikan gagasan anti-penindasan di kalangan orang-orang Eropa. Tulisan tentang tuntutan pemenuhan kewajiban moral Belanda terhadap Hindia pun bermunculan di media massa Belanda. Salah satunya tulisan Robert Fruin dalam De Gids tahun 1865. Artikel yang berjudul “Nederland’s rechten en verplichtingen ten opzichten van Indie”. Dalam artikel tersebut, untuk pertama kalinya praktek saldo laba (Baltig Slot) dalam Cultuur Stelsel dinyatakan sebagai kebijakan pemerintah yang berlawanan dengan hukum kedaulatan negara modern (Belanda). Artikel ini mempengaruhi tokoh-tokoh Belanda yang kemudian bergerak dalam lingkup Politik Etis, salah satu tokoh terpenting politik etis tersebut adalah Mr. P. Brooshooft.
Ada pun gerakan kaum liberal di parlemen Belanda, tidak lepas dari kepentingan yang menguntungkan bagi pihak swasta. Penghapusan Cultuur Stelsel dilakukan secara bertahap sejak tahun 1862 dan dikenakan pada komoditi-komoditi tertentu yang memberikan keuntungan paling sedikit. Komoditi kopi adalah yang paling terakhir yaitu tahun 1917 di Priangan dan tahun 1919 di wilayah pesisir utara Jawa. Tahun 1870 pemerintah kolonial mengeluarkan Undang-undang Agraria yang membuka kesempatan kepada perusahaan swasta untuk melakukan investasi di wilayah Hindia Belanda yang selama ini menjadi monopoli Nederlandsche Handelsmaatschappij.
Berbagai pemikiran di seputar tuntutan kaum liberal di negeri Belanda hadir secara berkala di Hindia Belanda lewat surat kabar De Locomotief. Surat kabar yang berpusat di Semarang ini berdiri tahun 1863 dan menjadi harian pada tahun 1870. De Locomotief merupakan media pertama yang secara terus menerus menyuarakan politik etis atau politik kewajiban moral terhadap tanah jajahan, dan pemerintahan otonom. Masa pasca Cultuur Stelsel ini merupakan masa inkubasi pemahaman tentang nasionalisme.
Pada masa inkubasi ini, tuntutan kewajiban moril terhadap tanah Hindia Belanda yang ditujukan kepada pemerintah kolonial belum melibatkan peranan orang-orang bumiputera. Kaum bumiputera yang mendapat pendidikan Eropa serta berbahasa Belanda, masih terbatas sebagai pembaca. Kalangan pembaca De Locomotief umumnya adalah pedagang, pengusaha perkebunan, para penyewa tanah di daerah Yogya-Solo dan juga dibaca oleh kalangan pegawai pemerintahan dalam negeri.
P. Brooshooft, redaktur utama De Locomotief merupakan bagian dari jaringan para individu yang kemudian dikenal menyuarakan gagasan balas budi/etis baik yang berada di Hindia maupun yang di negeri Belanda, seperti Van Deventer, J.H. Abendanon, A.W.J. Idenburg, Van Limburg Stirum, N.P. van den Berg, Snouck Hurgronje, H.H. van Koll dan lain-lain. Secara individual, jaringan etis melakukan diseminasi gagasan dalam berbagai bentuk tanpa adanya satu ikatan organisasi yang ideologis.
Ada tiga momentum yang menandai bergemanya politik etis pada kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pertama, artikel Van Deventer yang muncul di De Gids tahun 1899, berjudul “Een Eerschuld”. Kedua, sebuah brosur politik yang ditulis Brooshooft yang berjudul “De Ethische koers in de koloniale politiek” (Haluan etis dalam Politik Kolonial”. Di terbitkan di Belanda tahun 1901.
Istilah etis yang dilabelkan pada politik kebijakan kolonial Belanda di Hindia pertama kali dicetuskan oleh Brooshooft melalui De Locomotief dan tercetus sebagai pernyataan politik pribadi (lepas dari fungsinya sebagai redaktur satu media massa) dalam “De Ethische koers in de koloniale politiek”. Brooshooft menulisnya di masa beristirahat dari tugasnya sebagai redaktur utama De Locomotief. Ia dilingkupi rasa frustasi atas gerakan yang dilakukan hampir 25 tahun di Hindia yang menurutnya gagal. Akan tetapi, kemudian tanpa disadari oleh Brooshooft , gagasan Emansipasi dan politik Etis telah merambah hingga ke telinga Ratu Wilhelmina. Januari 1901, di depan parlemen Belanda dalam sebuah pidato awal tahun, Ratu Wilhelmina mengumumkan hasil penyelidikan yang telah dilakukan oleh Mindere Welvaarts-Commissie (Komisi untuk penyelidikan keadan kurang sejahtera) sekaligus pengesahan kebijakan politik etis yang diterjemahkan oleh Gubernur Jenderal Idenburg menjadi program pendidikan, irigasi, dan emigrasi.
Di luar wacana utama politik etis, masih ada pula haluan lain yang ikut berperan dalam penyebaran gagasan emansipasi dalam kurun inkubasi ini. Adalah gerakan theosofi yang juga memainkan peranan dalam pertemuan pemahaman antara Timur dan Barat. Gerakan ini pertama kali berdiri sebagai organisasi bernama The Theosophical Society pada tahun 1883 di Pekalongan. Theosofi berpijak pada prinsip persaudaraan universal sebagai inti hakekat dari cita-cita tertinggi umat manusia. Gerakan ini lebih bersifat sebagai societeit (perkumpulan) yang mendirikan sekolah, perpustakaan, serta klub-klub diskusi dengan tema utama filsafat. Anggotanya terdiri dari orang Eropa, Bumiputera dan Cina. Ciri khasnya yang lebih cenderung pada spiritualisme dan juga konflik internal telah membuatnya tidak bertahan lama bila dibandingkan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh Brooshooft dan kalangan etis lainnya. Walau demikian, gerakan theosofi telah mempertemukan kalangan berbagai bangsa dengan status dan derajat yang sama sehingga menghapus batas-batas kebangsaan.
Masa diseminasi gagasan tentang emansipasi, politik etis, dan tuntutan pembentukan parlemen di Hindia Belanda secara tidak langsung menjembatani gagasan politik modern (yang identik dengan Barat) dengan pembentukan konsep nasionalisme Indonesia seperti apa yang kemudian dilakukan oleh Perhimpunan Indonesia. Adapun penyebaran gagasan itu pun dapat dilihat sebagai jejaring yang menghubungkan setiap individu yang ikut serta memperjuangkannya tanpa batas asal usul kebangsaan.
De Locomotief menghubungkan Van Deventer dan P. Brooshooft dengan kalangan orang-orang Eropa dan Bumiputera. Idenburg menjadi orang yang pertama menjalankan kebijakan politik etis setelah berada di pihak yang menyerukan perubahan kolonial di parlemen Belanda. Van Limburg Stirum menetapkan kebijakan tentang kebebasan berorganisasi dan pembentukan Volksraad tahun 1916. J.H. Abendanon merupakan sahabat R.A. Kartini. Snouck Hurgronje menjadi sponsor banyak intelektual Indonesia untuk bersekolah ke Belanda. Di masa kecilnya, Soekarno menggunakan keanggotaan ayahnya di Theosophical Society untuk menghabiskan waktunya di perpustakaan theosofi. Ir. Fournier dan van Leeuwen (keduanya tokoh gerakan theosofi Hindia Belanda) telah memberikan rekomendasi bagi Mohamad Hatta untuk mendapat beasiswa belajar di Belanda. Moh. Yamin, Abu Hanifah dan juga Agus Salim ikut memanfaatkan kursus-kursus filsafat yang diselenggarakan oleh Theosophical Society.
Peranan orang-orang Eropa dalam bangunan nasionalisme umumnya berhenti pada masa inkubasi ini. Gerakan emansipasi dan politik etis yang didengungkan oleh tokoh-tokohnya itu sama sekali tidak keluar dari kerangka politik kolonial. Bahkan dari kalangan liberal dan konservatif memperlihatkan bahwa kebijakan politik etis bertujuan sebagai usaha menjadikan masyarakat Bumiputera sebagai masyarakat beradab, bermoral, dan modern untuk menunjang kepentingan pemerintah kolonial. Suatu pengecualian berlaku untuk tokoh Douwes Dekker (Setiabudi) yang mempelopori berdirinya Indische Partij bersama Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat (akan dibahas dalam bab selanjutnya). Masa inkubasi berakhir ketika masyarakat bumiputera menerjemahkan dan menentukan sendiri, ke mana arah gagasan-gagasan itu. Jawabannya kemudian adalah apa yang dilakukan oleh Perhimpunan Indonesia pada tahun 1923.
Share this article :
 

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BAHAN AJAR GURU - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger