- 1. TINDAKAAN KOSTRAD
- Penilaian Panglima Kostrad
Pada hari Jum’at tanggal 1 Oktober 1965 pagi hari, setelah memperoleh informasi terjadinya penculikan dan pembunuhan terhadap pimpinan TNI-AD , pangkostrad Mayjend TNI Soeharto segera mengumpulkan staffnya di markas Kostrad, untuk mempelajari situasi. Dalam rapat tersebut Pangkostrad belum mendapat gambaran yang lengkap dan jekas tentang gerkan yang beru saja terjadi, serta belum mengetahui tempat presiden berada. Setelah tampilnya Letkol Inf. Untung, seorang perwira menengah TNI-AD yang pernah berdinas dalam jajaran Kodam VII/Doponegoro dan beliau ketahui sebagai anggota PKI, dengan pengumuman pertamannya yang disiarkan setelah warta berita RRI Jakarta pukul 07.00, maka Pangkostrad Mayjend TNI Soeharto mempunyai keyakinan bahwa Gerakan 30 September adalah gerakan PKI yang bertujuan menggulingkandan merebut kekuasan dari Pemerintah RI yang sah.
- Operasi Penumpasan
Berdasarkan keyakinan itu, Pangkostrad Mayjend TNI Soeharto segera menyusun rencana untuk menumpas gerakan pengkhiatan tersebut. Beliau segera mengkonsolidasikan dan menggerakkan personil Markas Kostrad dan satuan-satuan lain di Jakarta yang tidak mendukung Gerakan 30 September, disertai dengan usaha menginsyafkan kesatuan-kesatuan yang digunakan oleh Gerakan 30 September. Imbangan kekuatan makin tidak menguntukan pihak Gerakan 30 September, terutama setelah sebagian besar satuan yang digunakan oleh beberpa perwira yang dibina PKI berhasil disadarkan dan kembali menggabungkan diri kedalam Komando dan pengendalian Kostrad. Setelah pasukan-pasukan yang dopengaruhi oleh G30S berhasil disadarkan, maka langkah selanjutnya adalah merebut RRI Jakarta dan Kantor Besar Telkom yang sejak pagi-pagi diduduki oleh pasukan Kapten Inf. Suradi yang berada dibawah komando Kolonel Inf. A. Latief. Pada pukul 17.00 pasukan RPKAD dibawah pimpinan Kolonel Inf. Sarwo Edhie Wibowo diperintahkan merebut kembali kedua objek penting tersebut dengan sejauh mungkin menghindari pertumpahan darah.
Pada pukul 17.20 Studio RRI Jakarta telah dikuasai oleh RPKAD dan bersamaan dengan itu telah direbut pula Kantor Besar Telkom. Setelah diperoleh laporan bahwa daerah di sekitar pangkalan Uadara Halim Perdanakusuma digunakan sebagai basis Gerakan 30 September, operasi penumpasan diarahkan ke daerah tersebut. Perkembangan menjelang petang tanggal 1 Oktober 1965 berlangsung dengan cepat. Pasukan pendukung G 30 S yang menggunakan Pondok Gede sebagai basis segera menyadari adanya situasi yang semakin tidak menguntungkan gerakannya. Situasi menjadi semakin gawat bagi pasukan G 30 S setelah Presiden memerintahkan secara lisan kepada Brigjen TNI Soepadjo agar pasukan-pasukan yang mendukung G 30 S menghentikan pertummpahan darah.
Setelah RRI berhasil dikuasai kembali oleh RPKAD, pada pukul 19.00 Mayjen TNI Soeharto selaku pimpinan sementara AD menyampaikan pidato radio yang dapat ditangkap diseluruh wilayah tanah air. Dengan bukti-bukti siaran G 30 S melalui RRI Jakarta Soeharto menjelaskan bahwa telah terjadi tindakan pengkhianatan oleh apa yang menamakan dirinya Gerakan 30 September. Selanjutnya dijelaskan bahwa G 30 S telah melakukan penculikab terhadap beberapa Perwira Tinggi TNI-AD, sedangkan Presiden dan Menko Hankam/Kasab Jendral TNI A.H. Nasution dalam keadaan aman. Situasi Ibu Kota Negara telah dikuasai kembali dan telah dipersiapkan langkah-langkah untuk menumpas G 30 S tersebut. Untuk sementara pimpinan AD dipegang oleh Soeharto. Pidato Pangkostrad tersebut dapat menentramkan hati rakyat yang seharian penuh diliputi suasana gelisah dan tanda tanya.
Pasukan pendukung G 30 S setelah melakukan perlawanan lebih kurang setengah jam, pada tanggal 2 Oktober 1965 pukul 14.00 menghentikan perlawanannya dn melarikan diri dari Pondok Gede.
- Ditemukannya Tempat Penguburan Para Korban Penculikan di Lubang Buaya
Dengan hancurnya kekuatan fisik G 30 S / PKI di Ibu Kota operasi dilanjutkan untuk mengetahui nasib para korban penculikan. Sukitman, anggota polisi yang ditangkap pasukan penculik pada saat dilakukannya penculikan terhadap Brigjen TNI D.I. Panjaitan, yang berhasil melarikan diri melaporkan kepada pasukan keamanan bahwa ia menyaksikan sendiri penyiksaan dan membunuhan yang dilakukan terhadap korban penculikan. Atas perintah Mayjen Soeharto dengan bantuan Sukitman tanggal 3 Oktober 1965 sekitar 17.00 dapat ditemukan timbunan tanah dan sampah yang diperkirakan sebagai tempat penguburan kemudian dilakukan penggalian terhadap timbunan tanah dan sampah tersebut yang ternyataa adaalah sebuah sumur tua. Hasil penggalian membenarkan bahwa sumur tua tersebut ditemukan tanda-tanda adanya janazah sesuaai dengan laporan Sukitman. Atas perintah Kolonel Inf Sarwo Edhie Wibowo, penggalian timbunan tanah dihentikan karena mengalami kesulitan teknis, dan lagi hal tersebut perlu dilaporkan terlebih dahulu kepada Mayjen Soeharto. Keesokan harinya, setelah mendapat laporan tentang ditemukannya tempat yang kemmungkinan besar menjadi tempat para korban penculikan dikubur, Mayjen Soeharto kemudian menuju sumur tua itu yang berada dilingkuangan kebun karet didaerah Lubang Buaya. Atas perintah Soeharto penggalian mulai dilakukan, yang pelaksanaan teknisnya dilakukan oleh anggota kesatuan Intai para Ampibi (KIPAM) dari KKU AD ( Marinir) bersama-sama anggota RPKAD dengan disaksikan kembali oleh mayjen Soeharto. Dalam sumur tua tersebut ditemukan jenazah semua korban penculikan yang berjumlah tujuh orang, Letjen TNI Ahmad yani, Mayjen TNI Soeprapto, Mayjen TNI S. Parman, mayjen TNI Harhono M. T, Brigjen TNI D. I Panjaitan, Brigjen TNI Soetojo S, serta Lettu Czi Pierre Andreas Teendean. Dengan telah ditemukannya seluruh korban penculikan dalam keadaan meninggal, Soeharto menyampikan pidato yang kemudian di siarkan oleh RRI Jakarta tanggal 4 Oktober 1965 sekitar pukul 20.00. dalam pidato tersebut Soeharto mengatakan bahwa dengan kesaksian beliau sendiri secara langgsung telah berhasil ditemukaan jenazah 6 orang jendral dan seorang Perwira pertama yang menjadi korban penculikan Gerakan 30 September.
Ketujuh jenazah tersebut dikubur dalam sebuah sumur tua di ddaerah Lubang Buaya, tempat pelatihan sukwan-sukwati pemuda Rakyat dan Gerwani. Hal itu terbukti dari pengakuan seorang anggota Gerwani yang berasal dari Jawa Ten gah yang pernah dilatih ditempat tersebut dan tertangkap di Cirebon.
Setelah dirawat sebagaimana mestinya, para korban fitnah dan pembunuhan G 30 S kemudian disemayamkan diaula markas Besar TNI AD jakarta. Keesokan harinya pertepatan dengan HUT ke 20 ABRI, tanggal 5 Oktober 1965 dengan upacara kebesaran militer jenazah para putra terbaik bangsa dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Jendral TNI A.H Nasution bertindak selaku inspektur upacara. Dalam pidato pengantar jenazah para pahlawan itu, Menko Hankam/Kasab dengan terbata-bata dan penuh kesedihan menyatakan bahwa hari angkatan bersenjata tanggal 5 Oktober adalah hari yang selalu gemilang, tetapi pada hari itu telah dihinakan oleh pengkhianatan dan penganiayaan para perwira tinggi TNI AD. Beliau juga mengatakan bahwa fitnah terhadap ABRI merupakan perbuatan yang lebih kejam daripada pembunuhan dan mengajak segenap prajurit TNI untuk melanjutkan perjuangan para pahlawan tersebut dengan meminta kepada rakyat agar ikhlas melepas para pahlawan tersebut menghadap Tuhan YME.
Disepanjang jalan iring-iringan jenazah para pahlawan Revolusi itu, ratusan ribu rakyat mengantarkannya sebagai perwujudan rasa hormat, belasungakawa dan simpati.
Post a Comment