Berbicara tentang Islamisasi di Nusantara, pertanyaan kita adalah bilamana Islam masuk ke Nusantara dan siapa yang membawa atau menyebarkannya. Pertanyaan kemudian, Islam seperti apa yang masuk dan bagaimana bentuknya yang sekarang? Pertanyaan pertama dan kedua dapat dijawab secara teoritis melalui bukti-bukti arkeologi mutakhir yang sampai kepada kita, sedangkan pertanyaan berikutnya dapat dijawab melalui kacamata budaya yang masih dapat disaksikan di beberapa tempat di Nusantara.
Hingga saat ini tidak ada satupun bukti tertulis yang secara tersurat menyatakan bahwa Islam masuk di Nusantara pada tahun atau abad sekian dan yang membawa masuk adalah si Nasruddin (misalnya). Kajian mengenai dugaan masuknya Islam di Nusantara hingga saat ini baru didasarkan atas bukti tertulis dari nisan kubur serta beberapa naskah yang menuliskan para pedagang Islam. yang ditemukan di beberapa tempat di Nusantara, seperti di Aceh, Barus (pantai barat Sumatra Utara) dan Gresik (Jawa Timur).
Islamisasi di Nusantara erat kaitannya dengan sejarah Islam yang hingga kini penulisannya belum “lengkap” dan sifatnya masih parsial. Keadaan seperti ini jauh-jauh hari sudah disinyalir oleh Presiden Soekarno yang menyatakan bahwa sikap ulama Indonesia kurang atau bahkan tidak memiliki pengertian perlunya penulisan sejarah. Di samping sikap ulama Indonesia tersebut, masih ada kendala lain untuk menuliskan sejarah. Kendala itu antara lain kurangnya data atau sumber-sumber tertulis, serta luasnya geografis Indonesia sehingga untuk mengintegrasikan data dari berbagai daerah juga sulit.
Mengenai darimana Islam masuk Nusantara, ada beberapa pendapat dengan argumennya masing-masing. Ada yang berteori bahwa Islam datang dari Arab, Persia, India, bahkan ada yang menyatakan dari Tiongkok. Meskipun pendapat mengenai asalnya Islam berbeda-beda, namun ada kesamaan bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui “perantaraan” kaum saudagar. Mereka berniaga sambil menyebarkan syi‘ar Islam. Hal ini sesuai dengan Hadist: “Sampaikanlah dari saya ini walau hanya satu ayat”. Kemudian sesampainya di Nusantara, barulah disebarkan oleh ulama-ulama lokal atau para wali seperti di Tanah Jawa ada Wali Songo.
Tidak ada satupun pendapat yang pasti mengenai kapan masuknya Islam di Nusantara jika mengingat hubungan kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan Timur Tengah, Persia, India, dan Tiongkok sudah berlangsung lama. Para saudagar dari tempat-tempat tersebut membawa dan mengambil komoditi perdagangan dari dan ke Nusantara. Dari Nusantara mereka membawa hasil-hasil hutan yang laku dijual di pasaran, seperti kapur barus, kemenyan, dan rempah-rempah. Dari tempat asalnya mereka membawa barang-barang kaca, keramik, kain sutra/brokat, batu-batu mulia dan barang-barang perunggu. Sebelum Islam ada, para pedagang, pendeta, dan bhiksu menyebarkan budaya India di Nusantara, termasuk penyebaran agama Hindu dan Buddha. Pada masa abad ke-7-10 Masehi, Śrīwijaya pernah menjadi pusat pengajaran agama Buddha. Dengan demikian, kuat dugaan bahwa Islam masuk ke Nusantara juga dibawa oleh para saudagar.
Baru-baru ini, sektar tahun 2004 di perairan laut Jawa sebelah utara Cirebon ditemukan runtuhan sebuah kapal yang diduga tenggelam karena kelebihan muatan. Berdasarkan pertanggalan keramik dan teknologi pembuatannya, kapal yang tenggelam tersebut berasal dari sekitar abad ke-10 Masehi. Muatannya bermacam-macam yang berasal dari berbagai tempat di luar Nusantara. Berdasarkan ciri-ciri fisiknya, dapat diduga bahwa barang-barang muatan kapal tersebut berasal dari daerah Timur Tengah, India, dan Tiongkok. Sebagian besar merupakan barang dagangan, dan sebagaian lagi merupakan barang-barang untuk upacara keagamaan atau benda-benda keagamaan.
Dalam tulisan singkat ini, saya hendak mengungkapkan tentang salah satu cara masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara pada satu kurun waktu sekitar abad ke-10 Masehi. Data untuk bahan kajian berasal dari artefak-artefak yang ditemukan dari kapal yang tenggelam di perairan Cirebon serta data lain yang ditemukan dari hasil penelitian arkeologi. Dari data tersebut kemudian akan ditarik pada budaya Islam di Nusantara dalam konteks kekinian. Timbul dan berkembangnya suatu aliran atau mazhab tertentu dapat tergantung darimana asalnya aliran tersebut. Pada masa kini, sebagian masyarakat yang beragama Islam di Indonesia menganut tradisi Suni. Namun tidak tertutup kemungkinan ada juga yang menganut tradisi Syi‘ah. Kedua tradisi tersebut bermazhab Syafi‘i.
1. Pelayaran dan Perdagangan
Sumber-sumber tertulis (sejarah) yang merupakan catatan harian dari orang-orang Tionghoa, Arab, India, dan Persia menginformasikan pada kita bahwa tumbuh dan berkembangnya pelayaran dan perdagangan melalui laut antara Teluk Persia dengan Tiongkok sejak abad ke-7 Masehi atau abad ke-1 Hijriah, disebabkan karena dorongan pertumbuhan dan perkembangan imporium-imporium besar di ujung barat dan ujung timur benua Asia. Di ujung barat terdapat emporium Muslim di bawah kekuasaan Khalifah Bani Umayyah (660-749 Masehi) kemudian Bani Abbasiyah (750-870 Masehi). Di ujung timur Asia terdapat kekaisaran Tiongkok di bawah kekuasaan Dinasti T‘ang (618-907 Masehi). Kedua emporium itu mungkin yang mendorong majunya pelayaran dan perdagangan Asia, tetapi jangan dilupakan peranan Śrīwijaya sebagai sebuah emporium yang menguasai Selat Melaka pada abad ke-7-11 Masehi. Emporium ini merupakan kerajaan maritim yang menitik beratkan pada pengembangan pelayaran dan perdagangan.
Muatan kapal yang tenggelam di perairan Cirebon dapat menunjukkan asalnya, genta, ujung tongkat pendeta, wajra, dan arca mungkin dari India. Benda-benda ini merupakan alat-alat upacara yang dimiliki oleh kelompok pemeluk agama Buddha.
Nama Persia yang sekarang disebut Iran, menurut catatan harian Tionghoa adalah Po-sse atau Po-ssu yang biasa diidentifikasikan atau dikaitkan dengan kapal-kapal Persia, dan sering pula diceriterakan sama-sama dengan sebutan Ta-shih atau Ta-shih K‘uo yang biasa diidentifikasikan dengan Arab. Po-sse dapat juga dimaksudkan dengan orang-orang Persia yaitu orang-orang Zoroaster yang berbicara dalam bahasa Persi –orang-orang Muslim asli Iran—yang dapat pula digolongkan pada orang-orang yang disebut Ta-shih atau orang-orang Arab. Orang Zoroaster dikenal oleh orang Arab sebagai orang Majus yang merupakan mayoritas penduduk Iran setelah peng Islaman.
Nama Persia yang sekarang disebut Iran, menurut catatan harian Tionghoa adalah Po-sse atau Po-ssu yang biasa diidentifikasikan atau dikaitkan dengan kapal-kapal Persia, dan sering pula diceriterakan sama-sama dengan sebutan Ta-shih atau Ta-shih K‘uo yang biasa diidentifikasikan dengan Arab. Po-sse dapat juga dimaksudkan dengan orang-orang Persia yaitu orang-orang Zoroaster yang berbicara dalam bahasa Persi –orang-orang Muslim asli Iran—yang dapat pula digolongkan pada orang-orang yang disebut Ta-shih atau orang-orang Arab. Orang Zoroaster dikenal oleh orang Arab sebagai orang Majus yang merupakan mayoritas penduduk Iran setelah peng Islaman.
Bukti-bukti arkeologis yang mengindikasikan kehadiran pedagang Po-sse di Kehadiran orang-orang Po-ssu bersama-sama dengan orang-orang Ta-shih di bandar-bandar sepanjang tepian Selat Melaka, pantai barat Sumatera, dan pantai timur Semenanjung Tanah Melayu sampai ke pesisir Laut Tiongkok Selatan diketahui sejak abad ke-7 Masehi atau abad ke-1 Hijriah. Mereka dikenal sebagai pedagang dan pelaut ulung. Sebuah catatan harian Tionghoa yang meceriterakan perjalanan pendeta Buddha I-tsing tahun 671 Masehi dengan menumpang kapal Po-sse dari Kanton ke arah selatan, yaitu ke Fo-shih (Śrīwijaya). Catatan harian itu mengindikasikan kehadiran orang-orang Persia di bandar-bandar di pesisir laut Tiongkok Selatan dan Nusantara. Kemudian pada tahun 717 Masehi diberitakan pula tentang kapal-kapal India yang berlayar dari Srilanka ke Śrīwijaya dengan diiringi 35 kapal Po-sse. Tetapi pada tahun 720 Masehi kembali lagi ke Kanton karena kebanyakan dari kapal-kapal tersebut mengalami kerusakan.6
Hubungan pelayaran dan perdagangan antara bangsa Arab, Persia, dan Śrīwijaya rupa-rupanya dibarengi dengan hubungan persahabatan di antara kerajaan-kerajaan di kawasan yang berhubungan dagang. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya beberapa surat dari Mahārāja Śrīwijaya yang dikirimkan melalui utusan kepada Khalifah Umar ibn ‘Abd. Al-Aziz (717-720 Masehi). Isi surat tersebut antara lain tentang pemberian hadiah sebagai tanda persahabatan.
Nusantara (Śrīwijaya dan Mālayu) adalah ditemukannya artefak dari gelas dan kaca berbentuk vas, botol, jambangan dll di Situs Barus (pantai barat Sumatera Utara) dan situs-situs di pantai timur Jambi (Muara Jambi, Muara Sabak, Lambur). Barang-barang tersebut merupakan komoditi penting yang didatangkan dari Persia atau Timur Tengah dengan pelabuhan-pelabuhannya antara lain Siraf, Musqat, Basra, Kufah, Wasit, al-Ubulla, Kish, dan Oman. Dari Nusantara para pedagang tersebut membawa hasil bumi dan hasil hutan. Hasil hutan yang sangat digemari pada masa itu adalah kemenyan dan kapur barus.
Hubungan pelayaran dan perdagangan yang kemudian dilanjutkan dengan hubungan politik, pada masa yang kemudian menimbulkan proses islamisasi. Dari proses islamisasi ini pada abad ke-13 Masehi kemudian muncul kerajaan Islam Samudera Pasai dengan sultannya yang pertama adalah Malik as-Saleh yang mangkat pada tahun 1297 Masehi. Menurut kitab Sejarah Melayu, Hikayat Raja-raja Pasai, dan catatan harian Marco Polo yang singgah di Peurlak tahun 1292 Masehi, Samudera Pasai bukan hanya kerajaan Islam pertama di Nusantara, tetapi juga di Asia Tenggara. Kehadiran kerajaan Islam ini semakin mempererat hubungan antara Sumatera dan negara-negara di Arab dan Persia.
Pada pertengahan abad ke-14 Masehi Ibn Batuta singgah di Pasai yang pada waktu itu diperintah oleh Sultan Malik al-Zahir. Dalam catatan hariannya disebutkan bahwa Sultan adalah seorang penganut Islam yang taat dan ia dikelilingi oleh para ulama dan dua orang Persia yang terkenal, yaitu Qadi Sharif Amir Sayyid dari Shiraz dan Taj ad-Din dari Isfahan. Ahli-ahli tasawwuf atau kaum sufi yang datang ke Samudera Pasai dan juga ke Melaka dimana para sultan menyukai ajaran “manusia sempurna/Insan al-Kamil” mungkin sekali dari Persia.
Beberapa ratus tahun sebelum Kesultanan Samudera Pasai, di wilayah Aceh sudah ada kerajaan yang bercorak Islam, yaitu Kerajaan Peurlak. Kerajaan ini berdiri pada tahun 225 Hijriah atau 845 Masehi dengan rajanya Sultan Sayid Maulana Abdal-Aziz Syah keturunan Arab-Quraisy yang berpaham Syi‘ah.
Tingginya intensitas hubungan perdagangan antara Persia dan kerajaan di Nusantara demikian tinggi. Tidak mustahil di beberapa tempat yang dikunjungi pedagang Persia, tinggal dan menetap pula orang-orang Persia. Di tempat ini timbul juga kontak budaya antar dua budaya yang berbeda, dan tidak mustahil ada juga penganut Islam Syi‘ah. Hal ini dapat dideteksi dari adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang biasa dilakukan oleh kaum Syi‘ah.
+ komentar + 2 komentar
Nama:bunga intan permata sari
Kelas:Ix.ips.a
Hafi rbu
Nama:bunga intan permata sari
Kelas:Ix.ips.a
Hafi rbu
Post a Comment