Sosialisasi adalah sebuah proses penanaman atau  transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi  lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Sejumlah sosiolog  menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory).  Karena dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran yang harus  dijalankan oleh individu.
Jenis sosialisasi
Keluarga sebagai perantara sosialisasi primer
Berdasarkan  jenisnya, sosialisasi dibagi menjadi dua: sosialisasi primer (dalam  keluarga) dan sosialisasi sekunder (dalam masyarakat). Menurut Goffman  kedua proses tersebut berlangsung dalam institusi total, yaitu tempat  tinggal dan tempat bekerja. Dalam kedua institusi tersebut, terdapat  sejumlah individu dalam situasi yang sama, terpisah dari masyarakat luas  dalam jangka waktu kurun tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang  terkukung, dan diatur secara formal.
• Sosialisasi primer
Peter L.  Berger dan Luckmann mendefinisikan sosialisasi primer sebagai  sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar  menjadi anggota masyarakat (keluarga). Sosialisasi primer berlangsung  saat anak berusia 1-5 tahun atau saat anak belum masuk ke sekolah. Anak  mulai mengenal anggota keluarga dan lingkungan keluarga. Secara bertahap  dia mulai mampu membedakan dirinya dengan orang lain di sekitar  keluarganya.
Dalam tahap ini, peran orang-orang yang terdekat dengan  anak menjadi sangat penting sebab seorang anak melakukan pola interaksi  secara terbatas di dalamnya. Warna kepribadian anak akan sangat  ditentukan oleh warna kepribadian dan interaksi yang terjadi antara anak  dengan anggota keluarga terdekatnya.
• Sosialisasi sekunder
Sosialisasi  sekunder adalah suatu proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi  primer yang memperkenalkan individu ke dalam kelompok tertentu dalam  masyarakat. Salah satu bentuknya adalah resosialisasi dan desosialisasi.  Dalam proses resosialisasi, seseorang diberi suatu identitas diri yang  baru. Sedangkan dalam proses desosialisasi, seseorang mengalami  'pencabutan' identitas diri yang lama.
Tipe sosialisasi
Setiap  kelompok masyarakat mempunyai standar dan nilai yang berbeda. contoh,  standar 'apakah seseorang itu baik atau tidak' di sekolah dengan di  kelompok sepermainan tentu berbeda. Di sekolah, misalnya, seseorang  disebut baik apabila nilai ulangannya di atas tujuh atau tidak pernah  terlambat masuk sekolah. Sementara di kelompok sepermainan, seseorang  disebut baik apabila solider dengan teman atau saling membantu.  Perbedaan standar dan nilai pun tidak terlepas dari tipe sosialisasi  yang ada. Ada dua tipe sosialisasi. Kedua tipe sosialisasi tersebut  adalah sebagai berikut.
• Formal
Sosialisasi tipe ini terjadi  melalui lembaga-lembaga yang berwenang menurut ketentuan yang berlaku  dalam negara, seperti pendidikan di sekolah dan pendidikan militer.
• Informal
Sosialisasi  tipe ini terdapat di masyarakat atau dalam pergaulan yang bersifat  kekeluargaan, seperti antara teman, sahabat, sesama anggota klub, dan  kelompok-kelompok sosial yang ada di dalam masyarakat.
Baik  sosialisasi formal maupun sosialisasi informal tetap mengarah kepada  pertumbuhan pribadi anak agar sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku  di lingkungannya. Dalam lingkungan formal seperti di sekolah, seorang  siswa bergaul dengan teman sekolahnya dan berinteraksi dengan guru dan  karyawan sekolahnya. Dalam interaksi tersebut, ia mengalami proses  sosialisasi. dengan adanya proses soialisasi tersebut, siswa akan  disadarkan tentang peranan apa yang harus ia lakukan. Siswa juga  diharapkan mempunyai kesadaran dalam dirinya untuk menilai dirinya  sendiri. Misalnya, apakah saya ini termasuk anak yang baik dan disukai  teman atau tidak? Apakah perliaku saya sudah pantas atau tidak?
Meskipun  proses sosialisasi dipisahkan secara formal dan informal, namun  hasilnya sangat suluit untuk dipisah-pisahkan karena individu biasanya  mendapat sosialisasi formal dan informal sekaligus.
Pola sosialisasi
Sosiologi  dapat dibagi menjadi dua pola: sosialisasi represif dan sosialisasi  partisipatoris. Sosialisasi represif (repressive socialization)  menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Ciri lain dari  sosialisasi represif adalah penekanan pada penggunaan materi dalam  hukuman dan imbalan. Penekanan pada kepatuhan anak dan orang tua.  Penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah, nonverbal dan berisi  perintah, penekanan sosialisasi terletak pada orang tua dan keinginan  orang tua, dan peran keluarga sebagai significant other. Sosialisasi  partisipatoris (participatory socialization) merupakan pola di mana anak  diberi imbalan ketika berprilaku baik. Selain itu, hukuman dan imbalan  bersifat simbolik. Dalam proses sosialisasi ini anak diberi kebebasan.  Penekanan diletakkan pada interaksi dan komunikasi bersifat lisan yang  menjadi pusat sosialisasi adalah anak dan keperluan anak. Keluarga  menjadi generalized other.
Proses sosialisasi
Menurut George Herbert Mead
George Herbert Mead berpendapat bahwa sosialisasi yang dilalui seseorang dapat dibedakan menlalui tahap-tahap sebagai berikut.
• Tahap persiapan (Preparatory Stage)
Tahap  ini dialami sejak manusia dilahirkan, saat seorang anak mempersiapkan  diri untuk mengenal dunia sosialnya, termasuk untuk memperoleh pemahaman  tentang diri. Pada tahap ini juga anak-anak mulai melakukan kegiatan  meniru meski tidak sempurna.
Contoh: Kata "makan" yang diajarkan ibu  kepada anaknya yang masih balita diucapkan "mam". Makna kata tersebut  juga belum dipahami tepat oleh anak. Lama-kelamaan anak memahami secara  tepat makna kata makan tersebut dengan kenyataan yang dialaminya.
• Tahap meniru (Play Stage)
Tahap  ini ditandai dengan semakin sempurnanya seorang anak menirukan  peran-peran yang dilakukan oleh orang dewasa. Pada tahap ini mulai  terbentuk kesadaran tentang anma diri dan siapa nama orang tuanya,  kakaknya, dan sebagainya. Anak mulai menyadari tentang apa yang  dilakukan seorang ibu dan apa yang diharapkan seorang ibu dari anak.  Dengan kata lain, kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang  lain juga mulai terbentuk pada tahap ini. Kesadaran bahwa dunia sosial  manusia berisikan banyak orang telah mulai terbentuk. Sebagian dari  orang tersebut merupakan orang-orang yang dianggap penting bagi  pembentukan dan bertahannya diri, yakni dari mana anak menyerap norma  dan nilai. Bagi seorang anak, orang-orang ini disebut orang-orang yang  amat berarti (Significant other)
• Tahap siap bertindak (Game Stage)
Peniruan  yang dilakukan sudah mulai berkurang dan digantikan oleh peran yang  secara langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuannya  menempatkan diri pada posisi orang lain pun meningkat sehingga  memungkinkan adanya kemampuan bermain secara bersama-sama. Dia mulai  menyadari adanya tuntutan untuk membela keluarga dan bekerja sama dengan  teman-temannya. Pada tahap ini lawan berinteraksi semakin banyak dan  hubunganya semakin kompleks. Individu mulai berhubungan dengan  teman-teman sebaya di luar rumah. Peraturan-peraturan yang berlaku di  luar keluarganya secara bertahap juga mulai dipahami. Bersamaan dengan  itu, anak mulai menyadari bahwa ada norma tertentu yang berlaku di luar  keluarganya.
• Tahap penerimaan norma kolektif (Generalized Stage)
Pada  tahap ini seseorang telah dianggap dewasa. Dia sudah dapat menempatkan  dirinya pada posisi masyarakat secara luas. Dengan kata lain, ia dapat  bertenggang rasa tidak hanya dengan orang-orang yang berinteraksi  dengannya tapi juga dengan masyarakat luas. Manusia dewasa menyadari  pentingnya peraturan, kemampuan bekerja sama--bahkan dengan orang lain  yang tidak dikenalnya-- secara mantap. Manusia dengan perkembangan diri  pada tahap ini telah menjadi warga masyarakat dalam arti sepenuhnya.
Menurut Charles H. Cooley
Cooley  lebih menekankan peranan interaksi dalam teorinya. Menurut dia, Konsep  Diri (self concept) seseorang berkembang melalui interaksinya dengan  orang lain. Sesuatu yang kemudian disebut looking-glass self terbentuk  melalui tiga tahapan sebagai berikut.
1. Kita membayangkan bagaimana kita di mata orang lain.
Seorang  anak merasa dirinya sebagai anak yang paling hebat dan yang paling  pintar karena sang anak memiliki prestasi di kelas dan selalu menang di  berbagai lomba.
2. Kita membayangkan bagaimana orang lain menilai kita.
Dengan  pandangan bahwa si anak adalah anak yang hebat, sang anak membayangkan  pandangan orang lain terhadapnya. Ia merasa orang lain selalu memuji  dia, selalu percaya pada tindakannya. Perasaan ini bisa muncul dari  perlakuan orang terhadap dirinya. MIsalnya, gurunya selalu  mengikutsertakan dirinya dalam berbagai lomba atau orang tuanya selalu  memamerkannya kepada orang lain. Ingatlah bahwa pandangan ini belum  tentu benar. Sang anak mungkin merasa dirinya hebat padahal bila  dibandingkan dengan orang lain, ia tidak ada apa-apanya. Perasaan hebat  ini bisa jadi menurun kalau sang anak memperoleh informasi dari orang  lain bahwa ada anak yang lebih hebat dari dia.
3. Bagaimana perasaan kita sebagai akibat dari penilaian tersebut.
Dengan adanya penilaian bahwa sang anak adalah anak yang hebat, timbul perasaan bangga dan penuh percaya diri.
________________________________________
Ketiga  tahapan di atas berkaitan erat dengan teori labeling, dimana seseorang  akan berusaha memainkan peran sosial sesuai dengan apa penilaian orang  terhadapnya. Jika seorang anak dicap "nakal", maka ada kemungkinan ia  akan memainkan peran sebagai "anak nakal" sesuai dengan penilaian orang  terhadapnya, walaupun penilaian itu belum tentu kebenarannya.
Agen sosialisasi
Agen  sosialisasi adalah pihak-pihak yang melaksanakan atau melakukan  sosialisasi. Ada empat agen sosialisasi yang utama, yaitu keluarga,  kelompok bermain, media massa, dan lembaga pendidikan sekolah.
Pesan-pesan  yang disampaikan agen sosialisasi berlainan dan tidak selamanya sejalan  satu sama lain. Apa ayng diajarkan keluarga mungkin saja berbeda dan  bisa jadi bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh agen sosialisasi  lain. MIsalnya, di sekolah anak-anak diajarkan untuk tidak merokok,  meminum minman keras dan menggunakan obat-obatan terlarang (narkoba),  tetapi mereka dengan leluasa mempelajarinya dari teman-teman sebaya atau  media massa.
Proses sosialisasi akan berjalan lancar apabila  pesan-pesan yang disampaikan oleh agen-agen sosialisasi itu tidak  bertentangan atau selayaknya saling mendukung satu sama lain. Akan  tetapi, di masyarakat, sosialisasi dijalani oleh individu dalam situasi  konflik pribadi karena dikacaukan oleh agen sosialisasi yang berlainan.
• Keluarga (kinship)
Bagi  keluarga inti (nuclear family) agen sosialisasi meliputi ayah, ibu,  saudara kandung, dan saudara angkat yang belum menikah dan tinggal  secara bersama-sama dalam suatu rumah. Sedangkan pada masyarakat yang  menganut sistem kekerabatan diperluas (extended family), agen  sosialisasinya menjadi lebih luas karena dalam satu rumah dapat saja  terdiri atas beberapa keluarga yang meliputi kakek, nenek, paman, dan  bibi di samping anggota keluarga inti. Pada masyarakat perkotaan yang  telah padat penduduknya, sosialisasi dilakukan oleh orang-orabng yang  berada diluar anggota kerabat biologis seorang anak. Kadangkala terdapat  agen sosialisasi yang merupakan anggota kerabat sosiologisnya, misalnya  pengasuh bayi (baby sitter). menurut Gertrudge Jaeger peranan para agen  sosialisasi dalam sistem keluarga pada tahap awal sangat besar karena  anak sepenuhnya berada dalam ligkugan keluarganya terutama orang tuanya  sendiri.
• Teman pergaulan
Teman pergaulan (sering juga disebut  teman bermain) pertama kali didapatkan manusia ketika ia mampu  berpergian ke luar rumah. Pada awalnya, teman bermain dimaksudkan  sebagai kelompok yang bersifat rekreatif, namun dapat pula memberikan  pengaruh dalam proses sosialisasi setelah keluarga. Puncak pengaruh  teman bermain adalah pada masa remaja. Kelompok bermain lebih banyak  berperan dalam membentuk kepribadian seorang individu.
Berbeda dengan  proses sosialisasi dalam keluarga yang melibatkan hubungan tidak  sederajat (berbeda usia, pengalaman, dan peranan), sosialisasi dalam  kelompok bermain dilakukan dengan cara mempelajari pola interaksi dengan  orang-orang yang sederajat dengan dirinya. Oleh sebab itu, dalam  kelompok bermain, anak dapat mempelajari peraturan yang mengatur peranan  orang-orang yang kedudukannya sederajat dan juga mempelajari  nilai-nilai keadilan
• Lembaga pendidikan formal (sekolah)
Media massa merupakan salah satu agen sosialisasi yang paling berpengaruh
Menurut  Dreeben, dalam lembaga pendidikan formal seseorang belajar membaca,  menulis, dan berhitung. Aspek lain yang juga dipelajari adalah  aturan-aturan mengenai kemandirian (independence), prestasi  (achievement), universalisme, dan kekhasan (specificity). Di lingkungan  rumah seorang anak mengharapkan bantuan dari orang tuanya dalam  melaksanakan berbagai pekerjaan, tetapi di sekolah sebagian besar tugas  sekolah harus dilakukan sendiri dengan penuh rasa tanggung jawab.
• Media massa
Yang  termasuk kelompok media massa di sini adalah media cetak (surat kabar,  majalah, tabloid), media elektronik (radio, televisi, video, film).  Besarnya pengaruh media sangat tergantung pada kualitas dan frekuensi  pesan yang disampaikan.
Contoh:
• Penayangan acara SmackDown! di televisi diyakini telah menyebabkan penyimpangan perilaku anak-anak dalam beberapa kasus.
• Iklan produk-produk tertentu telah meningkatkan pola konsumsi atau bahkan gaya hidup masyarakat pada umumnya.
• Agen-agen lain
Selain  keluarga, sekolah, kelompok bermain dan media massa, sosialisasi juga  dilakukan oleh institusi agama, tetangga, organisasi rekreasional,  masyarakat, dan lingkungan pekerjaan. Semuanya membantu seseorang  membentuk pandangannya sendiri tentang dunianya dan membuat presepsi  mengenai tindakan-tindakan yang pantas dan tidak pantas dilakukan. Dalam  beberapa kasus, pengaruh-pengaruh agen-agen ini sangat besar.
http://id.wikipedia.org/wiki/Sosialisasi
SOSIALISASI
Hasan Mustafa
Ketika bayi dilahirkan, dia tidak tahu apa-apa tentang diri dan  lingkungannya. Walau begitu, bayi tersebut memiliki potensi untuk  mempelajari diri dan lingkungannya. Apa dan bagaimana dia belajar,  banyak sekali dipengaruhi oleh lingkungan sosial di mana dia dilahirkan.  Kita bisa berbahasa Indonesia karena lingkungan kita berbahasa  Indonesia; kita makan menggunakan sendok dan garpu, juga karena  lingkungan kita melakukan hal yang sama; Demikian pula apa yang kita  makan, sangat ditentukan oleh lingkungan kita masing-masing. 
Sosialisasi adalah satu konsep umum yang bisa dimaknakan sebagai sebuah  proses di mana kita belajar melalui interaksi dengan orang lain, tentang  cara berpikir, merasakan, dan bertindak, di mana kesemuanya itu  merupakan hal-hal yang sangat penting dalam menghasilkan partisipasi  sosial yang efektif. Sosialisasi merupakan proses yang terus terjadi  selama hidup kita.
Syarat terjadinya sosialisasi
Pada  dasarnya, sosialisasi memberikan dua kontribusi fundamental bagi  kehidupan kita. Pertama, memberikan dasar atau fondasi kepada individu  bagi terciptanya partisipasi yang efektif dalam masyarakat, dan kedua  memungkinkan lestarinya suatu masyarakat – karena tanpa sosialisasi akan  hanya ada satu generasi saja sehingga kelestarian masyarakat akan  sangat terganggu..Contohnya, masyarakat Sunda, Jawa, Batak, dsb. akan  lenyap manakala satu generasi tertentu tidak mensosialisasikan  nilai-nilai kesundaan, kejawaan, kebatakan kepada generasi berikutnya.  Agar dua hal tersebut dapat berlangsung maka ada beberapa kondisi yang  harus ada agar proses sosialisasi terjadi. Pertama adanya warisan  biologikal, dan kedua adalah adanya warisan sosial.     
1. Warisan dan Kematangan Biologikal .
Dibandingkan dengan binatang, manusia secara biologis merupakan  makhluk atau spesis yang lemah karena tidak dilengkapi oleh banyak  instink. Kelebihan manusia adalah adanya potensi untuk belajar dari  pengalaman-pengalaman hidupnya. Warisan biologis yang merupakan kekuatan  manusia, memungkinkan dia melakukan adaptasi pada berbagai macam bentuk  lingkungan. Hal inilah yang menyebabkan manusia bisa memahami  masyarakat yang senantiasa berubah, sehingga lalu dia mampu berfungsi di  dalamnya, menilainya, serta memodifikasikannya. Namun tidak semua  manusia mempunyai warisan biologis yang baik, sebab ada pula warisan  biologis yang bisa menghambat proses sosialisasi. Manusia yang  dilahirkan dengan cacat pada otaknya atau organ tubuh lainnya (buta,  tuli/bisu, dsb.) akan mengalami kesulitan dalam proses sosialisasi. 
Proses sosialisasi juga dipengaruhi oleh kematangan biologis  (biological maturation), yang umumnya berkembang seirama dengan usia  biologis manusia itu sendiri. Misalnya, bayi yang usianya empat minggu  cenderung memerlukan kontak fisik, seperti ciuman, sentuhan, pelukan.  Begitu usianya enambelas minggu maka dia mulai bisa membedakan muka  orang lain yang dekat dengan 
*) Disadur dari ”Early Socialization” Wiggins, Wiggins & Zanden, 1994. 
dirinya,  dan lalu mulai bisa tersenyum. Pada usia tiga bulan, seorang bayi  jangan diminta untuk berjalan atau pun berhitung, berpakaian, dan  pekerjaan lainnya. Semua itu akan sia-sia, menghabiskan waktu karena  secara biologis, bayi tersebut belum cukup matang. Dengan demikian  warisan dan kematangan biologis merupakan syarat pertama yang perlu  diperhatikan dalam proses sosialisasi.
2. Lingkungan yang menunjang.
Sosialisasi juga menuntut adanya lingkungan yang baik yang  menunjang proses tersebut, di mana termasuk di dalamnya interaksi  sosial. Kasus di bawah ini dapat dijadikan satu contoh tentang  pentingnya lingkungan dalam proses sosialisasi. Susan Curtiss (1977)  menaruh minat pada kasus anak yang diisolasikan dari lingkungan  sosialnya. Pada tahun 1970 di California ada seorang anak berusia  tigabelas tahun bernama Ginie yang diisolasikan dalam sebuah kamar kecil  oleh orang tuanya. Dia jarang sekali diberi kesempatan berinteraksi  dengan orang lain. Kejadian ini diketahui oleh pekerja sosial dan  kemudian Ginie dipindahkan ke rumah sakit, sedangkan orang tuanya  ditangkap dengan tuduhan melakukan penganiayaan dengan sengaja. Pada  saat akan diadili ternyata ayahnya bunuh diri. 
Ketika awal  berada di rumah sakit, kondisi Ginie sangat buruk. Dia kekurangan gizi,  dan tidak mampu bersosialisasi. Setelah dilakukan pengujian atas  kematangan mentalnya ternyata mencapai skor seperti kematangan mental  anak-anak berusia satu tahun. Para psikolog, akhli bahasa, akhli syaraf  di UCLA (Universitas California) merancang satu program rehabilitasi  mental Ginie. Empat tahun program tersebut berjalan ternyata kemajuan  mental Ginie kurang memuaskan. Para akhli tersebut heran mengapa Ginie  mengalami kesukaran dalam memahami prinsip tata bahasa, padahal secara  genetis tidak dijumpai cacat pada otaknya. Sejak dimasukan ke rumah  sakit sampai dengan usia dua puluh tahun, Ginie dilibatkan dalam  lingkungan yang sehat, yang menunjang proses sosialisasi. Hasilnya,  lambat laun Ginie mulai bisa berpartisipasi dengan lingkungan  sekitarnya. 
Penelitian lain dilakukan oleh Rene Spitz (1945).  Dia meneliti bayi-bayi yang ada di rumah yatim piatu yang memperoleh  nutrisi dan perawatan medis yang baik namun kurang memperoleh perhatian  personal. Ada enam perawat yang merawat empat puluh lima bayi berusia di  bawah delapan belas bulan. Hampir sepanjang hari, para bayi tersebut  berbaring di dalam kamar tidur tanpa ada “human-contact”. Dapat  dikatakan, bayi-bayi tersebut jarang sekali menangis, tertawa, dan  mencoba untuk bicara. Skor tes mental di tahun pertama sangat rendah,  dan dua tahun kemudian penelitian lanjutan dilakukan dan ditemukan di  atas sepertiga dari sembilan puluh satu anak-anak meninggal dunia. Dari  apa yang ditemukannya, Spitz menarik kesimpulan bahwa kondisi lingkungan  fisik dan psikis seorang bayi pada tahun pertama sangat mempengaruhi  pembentukan mentalnya. Bayi pada saat itu sangat memerlukan  sentuhan-sentuhan yang memunculkan rasa aman – kehangatan, dan hubungan  yang dekat dengan manusia dewasa – sehingga bayi dapat tumbuh secara  normal  di usia-usia selanjutnya.
Apa yang disosialisasikan ? : Budaya .
Anak  dilahirkan dalam dunia sosial. Mereka merupakan anggota baru di dunia  tersebut. Dari kacamata masyarakat, fungsi sosialisasi adalah  mengalihkan segala macam informasi yang ada dalam masyarakat tersebut  kepada anggota-anggota barunya agar mereka dapat segera dapat  berpartisipasi di dalamnya. 
Berdasarkan pengalaman yang kita  miliki, banyak aspek-aspek kehidupan kita relatif stabil dan bisa  diprediksi. Jalan-jalan yang cenderung padat di pagi hari, orang  berlibur di akhir pekan,  anak-anak usia enam tahun mulai bersekolah,  tata letak bangunan fisik suatu kota – ada alun-alun, pusat  perbelanjaan, terminal bis, dsb., makan tiga kali dalam satu hari.  Kesemua perilaku masyarakat tadi sudah membentuk satu pola perilaku umum  yang secara teratur terjadi setiap hari. Keteraturan yang relatif  stabil tersebut mengembangkan satu pola interaksi sebagai satu bentuk  dari budaya. Budaya atau kebudayaan adalah keseluruhan hal yang yang  diciptakan oleh unit-unit sosial di mana setiap anggota unit sosial  tersebut memberikan makna yang relatif sama pada hal-hal tadi;  keyakinannya, nilai, norma, pengetahuan, bahasa, pola interaksi, dan  juga hal-hal yang berkaitan dengan sarana fisik, seperti bangunan,  mobil, baju, buku. 
Komponen atau unsur Budaya
Nilai adalah  prinsip-prinsip etika yang dipegang dengan kuat oleh individu atau  kelompok sehingga mengikatnya dan lalu sangat berpengaruh pada  perilakunya. Nilai berkaitan dengan gagasan tentang baik dan buruk, yang  dikehendaki dan yang tak dikehendaki. Nilai membentuk norma, yaitu  aturan-aturan baku tentang perilaku yang harus dipatuhi oleh setiap  anggota suatu unit sosial sehingga ada sanksi negatif dan positif. Norma  sendiri ada berbagai tingkatan , yaitu adat istiadat (folkways) – cara  makan, cara berpakaian, - anggota yang tidak melaksanakannya “hanya”  kena sanksi sosial mis : dianggap aneh, “nyleneh”;  “mores” – aturan  bisa tidak tertulis namun sanksinya relatif berat  - misalnya telanjang  bulat di depan kelas akan dianggap gila ;  dan hukum (laws) – aturannya  tertulis dan perlanggarnya bisa diperjarakan. Selain nilai dan norma,  satu unsur budaya lainnya adalah peran. Peran atau peranan adalah  seperangkat harapan atau tuntutan kepada seseorang untuk menampilkan  perilaku tertentu karena orang tersebut menduduki suatu status sosial  tertentu. 
Siapa yang mensosialisasikan budaya ? : Agen Sosialisasi
Institusi.  Institusi adalah satu bentuk unit sosial yang memfokuskan pada  pemenuhan satu bentuk kebutuhan masyarakat. Misalnya sekolah, keluarga,  agama. Mass-media : koran, majalah, televisi, radio. Individu dan  kelompok – kakak, adik, ayah, ibu, teman, guru, kelompok hobi, korpri,  dharmawanita, dsb. 
Bagaimana cara mensosialisasikan budaya ?
Sosialisasi melibatkan proses pembelajaran . Pembelajaran tidak  sekedar di sekolah formal, melainkan berjalan di setiap saat dan di mana  saja. Yang dimaksud dengan belajar atau pembelajaran adalah modifikasi  perilaku seseorang yang relatif permanen yang diperoleh  dari  pengalamannya di dalam lingkungan sosial/ fisik. Seseorang selalu  mengucapkan salam pada saat bertemu orang lain yang dikenalnya; perilaku  tersebut merupakan hasil belajar yang diperoleh dari lingkungan di mana  dia dibesarkan. Demikin pula seorang yang suka makan “jengkol/jering”,  mereka belajar dari lingkungannya. 
Ada tiga teori yang relatif  kuat yang dapat menjelaskan proses pembelajaran dalam sosialisasi.  Pertama adalah teori pembelajaran sosial (social learning theory), kedua  teori perkembangan individu (developmental theory), dan ketiga teori  interaksi simbolis (symbolic interaction theory).  
A.  Berdasarkan teori pembelajaran sosial, pembelajaran terjadi melalui dua  cara. (1) dikondisikan, dan (2) meniru perilaku orang lain. Tokoh utama  pendekatan pertama adalah B.F. Skinner (1953), yang terkenal dengan  konsep operant conditioning – Berdasarkan berbagai percobaan melalui  tikus dan merpati, Skinner memperkenalkan konsepnya tersebut. Perilaku   yang sekarang ditampilkan merupakan hasil konsekuensi positif atau  negatif dari perilaku yang sama sebelumnya. Seorang anak rajin belajar  karena  memperoleh hadiah dari orang tuanya. Seorang murid yang  mempeoleh nilai baik, dipuji-puji di depan orang banyak. Memuji, memberi  imbalan, merupakan cara untuk memunculkan bentuk perilaku tertentu.  Memarahi, memberi hukuman, merupakan cara untuk menghilangkan perilaku  tertentu. Dengan demikian jika generasi awal ingin melestarikan berbagai  bentuk perilaku kepada generasi sesudahnya, maka kepada setiap perilaku  yang dianggap perlu dilestarikan harus diberikan imbalan. Seorang anak  diminta berdoa sebelum makan, dan setelah selesai berdoa, orang tuanya  memujinya .
Pendekatan kedua dikenal dengan nama “observational  learning”. Tokoh di balik konsep tersebut adalah Albert Bandura. Inti  perndekatan ini adalah bahwa perilaku seseorang diperoleh melalui proses  peniruan perilaku orang lain. Individu meniru perilaku orang lain  karena konsekuensi yang diterima oleh orang lain yang menampilkan  perilaku tersebut positif, dalam pandangan individu tadi. Jika kita  ingin mensosialisasikan hidup secara teratur, disiplin, maka caranya  adalah memberikan contoh. Di samping itu bisa juga menciptakan model  yang layak untuk ditiru.  
B.  Berdasarkan teori-teori  perkembangan, pembelajaran , sosialisasi di tahap awal melibatkan  serangkaian tahapan. Setiap tahap akan memunculkan bentuk perilaku  tertentu dan setiap manusia perilakunya berkembang melalui tahapan yang  sama. Misalnya, tahap perkembangan yang dikemukakan oleh Erik Ericson  (1950), ada delapan tahapan. Tahap pertama pengembangan rasa percaya  pada lingkungan, tahap kedua pengembangan kemandirian, tahap ketiga  pengembangan inisiatif, tahap keempat pengembangan kemampuan psikis dan  pisik, tahap kelima pengembangan identitas diri. Kelima tahapan tersebut  terjadi pada saat sosialisasi di masa kanak-kanak. Tahap perkembangan  setelah itu adalah tahap keenam merupakan pengembangan hubungan dengan  orang lain secara intim, tahap ketujuh pengembangan pembinaan  keluarga/keturunan, dan tahap kedelapan pengembangan penerimaan  kehidupan.
Interaksi dengan manusia lain dalam proses  sosialisasi merupakan satu keharusan. Interaksi senantiasa mengandalkan  proses komunikasi, dan salah satu alat komunikasi adalah bahasa.  Kapasitas seseorang berbahasa dipengaruhi oleh akar biologis yang sangat  dalam, namun  pelaksanaan kapasitas tersebut sangat ditentukan oleh  lingkungan budaya di mana kita dibesarkan. Berdasarkan teori  perkembangan ada beberapa tahapan yang harus dilalui. Tahap pertama  adalah di tahun pertama, yaitu tahapan sebelum seorang anak berbahasa  (prelinguistic stage). Disebut sebagai “sebelum berbahasa” karena bunyi  yang dikeluarkan belum disebut kata-kata. Misalnya : “a-a-a-a,  det-det-det, ga-ga-ga, “. Tahap kedua adalah tahap di mana anak sudah  mulai belajar berjalan (toddlers). Mulai belajar bicara, misalnya  “tu-tu” untuk kata “itu”; “dul” untuk kata “tidur”, “mi-mi” untuk kata  “minum”, dst.  Di samping bahasa verbal, dalam tahapan itu juga, anak  juga sudah mulai menggunakan bahasa nonverbal (body language).  Menganggukan kepala untuk mengatakan ya, menunjuk dengan jari untuk  mengatakan itu, dsb.  Tahap ketiga : sebelum masuk sekolah. Anak sudah  bisa bicara dengan kata-kata dan struktur bahasa yang sederhana. dan  terbatas pada apa yang diajarkan oleh keluarga. Tahap berikutnya terjadi  setelah anak mulai sekolah. Dalam tahapan ini anak memperoleh  perbendaharaan kata yang lebih banyak. Mereka juga belajar menyusun  kata-kata secara lebih benar sesuai dengan ejaan yang secara umum  digunakan oleh masyarakat luas.  
Selain perkembangan dalam  hal-hal tersebut sebelumnya, manusia mengalami perkembangan moral (moral  development). Salah satu konsep yang banyak dibahas adalah terori yang  dikemukakan oleh Lawrence Kohlberg (1984). Lihat lampiran.
C. Berdasarkan teori interaksi simbolis
Asal  teori ini dari disiplin sosiologi, yaitu satu teori yang memusatkan  pada kajian tentang bagaimana individu menginterpretasikan dan  memaknakan interaksi-interaksi sosialnya. Di dalam teori ini ditekankan  bagaimana peran aktif seorang anak dalam sosialisasi. Sejak masa  kanak-kanak, kita belajar mengembangkan kemampuan diri (mengevaluasi  diri, memotivasi diri, mengendalikan diri). Menurut Herbert Mead (1934)  ada tiga proses tahapan pengembangan diri yang memungkinkan seorang anak  menjadi mampu berpartisipasi penuh dalam kehidupan sosial. Tahap  pertama adalah preparatory stage, tahap kedua play stage, dan tahap  terakhir adalah game stage.
Pada tahapan pertama, anak belum  mampu memandang perilakunya sendiri. Mereka meniru perilaku orang lain  yang ada di sekitarnya dan mencoba memberikan makna. Anak juga mulai  belajar menangkap makna dari bahasa yang digunakannya. Pada tahapan  kedua, anak mulai belajar berperan seperti orang lain. Berperilaku  seperti ayahnya, ibunya, guru, dsb. Melalui bermain peran yang beraneka  ragam itu anak mempelajari pola-pola perilaku individu lainnya . Tahap  ketiga merupakan tahapan di mana anak melatih ketrampilan sosialnya. Dia  belajar bagaimana memenuhi harapan orang lain yang jumlahnya tidak  hanya satu. Memenuhi harapan teman-temannya, kelompok bermainnya,  kelompok belajarnya, dsb.

Post a Comment