Pada
saat Malaikat Jibril bertanya tentang konsep Iman, Islam dan Ihsan,
Rasulullah SAW menjawab :”Bahwa Iman ialah hendaklah Engkau mengimankan
Allah, Malaikat Allah, Kitab kitab Allah, para Uusan Allah, Hari
Qiyamat, dan mengimankan Taqdir, baik dan buruknya adalah ketentuan
Allah. Islam ialah hendaklah engkau bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan
yang patut disembah melainkan Allah, dan nabi Muhammad adalah UtusaNYA,
mendirikan Shalat, Menunaikan Zakat, berpuasa Ramadhan, dan berangkat
Haji bila telah mampu. Sedangkan Ihsan yaitu hendaklah engkau beribadah
kepada Allah seperti engkau melihatNYA, apabila tidak bias demikian
,maka sesungguhnya Allah melihat engkau”.
Melihat makna Hadist yang diriwayatkan
Imam Bukhari diatas, Iman berarti kepercayaan hati dibarengi dengan
membenarkan segala apa yang disampaikan Rasulullah. Islam berarti
kepatuhan dan penyeragan lahiriyah dengan mengucapkan kalimat syahadat.
Dan Ihsan berarti, kejernihan dan keihlasan hati beribadah karena Allah
dengan sungguh sungguh. Antara ketiga kekuatan itu saling kerja sama dan
saling membutuhkan dalam mencapai puncak kerelaan Allah.
Iman sebagai landasan Islam dan Ihsan,
Islam sebagai bentuk manifestasi Iman dan Ihsan, sedangkan Ihsan
mengusahakan agar keimanan dan keislaman yang sempurna. Secara lahiriyah
orang tidak dapat dikatakan Islam manakala tidak mengucapkan syahadat,
ibadah shalat, zakat berpuasa ramadhan, dan menunaikan haji yang
merupakan pelaksanaan Ihsan secara lahiriyah, atau kesempurnaan Islam
itu sama sekali tidak berarti, jika tidak dilandasi Iman ( Tashdiq ) dan
Islam ( membaca syahadat ). Ibadah shalat, zakat, puasa, haji dan lain
lain akan menjadi berarti manakala ada Iman dan Islam, karena syarat
Ihsan secara lahiriyah harus dengan Iman dan Islam, meskipun sahnya Iman
dan Islam itu tidak harus dengan Ihsan.
Memang Iman dan Islam itu otonom jika
dilihat dari keabsahanya, karena Iman dan Islam sudah merupakan jaminan
keselamatan dunia dan ahirat. Iman yang benar dapat menyelamatkan dari
keabadian siksa Neraka, sedangkan Islam dapat menjaga hak hidup
lahiriyah yang berhubungan dengan agama dan Mu’amalah, Munakahat, Waris
mewaris dan lain sebagainya. Tetapi kemungkinan Iman dan Islam itu akan
menjadi kering kerontang, bahkan musnah sama sekali dari lubuk hati,
manakala tidak mengakui atas segala dosa dosa yang telah dilakukanya,
karena suatu dosa lambat laun akan menyeret pelakunya pada kekufuran,
jika tidak lekas di taubati. Oleh sebab itu sebagai Mukmin yang baik
disamping beriman dan berislam, hendaklah melaksanakan segala kewajiban
dan menjauhi segala larangan Allah SWT, secara sadar, agar memperoleh
Ihsan yang sebenarnya.
Ushuliddin, Fiqih Dan Tashawuf
Itulah sebabnya, Ulama’-ulama’ pakar
Alussunah menerangkan bahwa Iman, Islam dan Ihsan itu terdapat tiga
pandangan, Uhuliddin, Fiqih Dan Tashowuf. Dari ketiga itu kemudian
muncul istilah Ushulul Fiqh, Fiqhul Ushul, Ushulul Ushul, Tasawuful
Ushul, Ushulut Tasawuf, Fiqhut Tasawuf, dan sebagainya.
1. Menurut ilmu Ushuliddin, Iman ialah
kepercayaan membenarkan dalam hati kepada segala apa yang disampaikan
Rosululloh, berupa hukum perintah, larangan, berita dan janji yang
termaktub dalam Al Qur’an dan Al Hadits Shohih. Terwujudnya iman dalam
hati itu sudah barang tentu tidak mengabaikan syarat dan rukun-rukun
yang menjadikan sebab kebenaran iman itu dengan menjaga dari segala
keyakinan yang merusak iman.
Menurut ilmu Ushuliddin Islam ialah
kepatuhan penyerahan mengucapkan dua kalimah Syahadad serta mengetahui,
mengimani dan membenarkan makna dua kalinah Syahadad. Yakni bahwa tiada
Tuhan yang patut disenbah kecuali Alloh dan Nabi Muhammad itu utusan
Alloh.
2. Menurut ilmu Fiqih, Iman ialah
kepercayaan membenarkan dalam hatikepada segala apa yang dating dari
Rosulullohsebagai landasan amal ibadah kepada Alloh, karena amal ibadah
yang tidak berlandaskan iman mustahil akan menjadi sah. Sedangkan Islam
menurut ilmu Fiqih adalah pekerjaan ibadah seperti Sholat, Zakat, Puasa,
Haji dan lain-lain dengan memenuhi syarat dan rukun serta menjaga dari
segala hal yang membatalkannya. Jadi Islam sebagai manifestasi iman yang
kemudian Islam menjadi syarat keabsahan ibadah dalam fiqih.
3. Menurut ilmu Tasawuf, iman merupakan
landasan pokok diterimanya ibadahkemudian Alloh memberikan pahala dengan
ibadah yang dikerjakan. Dan Islam menurut Tasawuf ialah ibadah yang
benar itu dapat lantaran tercapainya Ihsan yang menyebabkan ibadah
tersebut memperoleh pahala. Dalam kata lain, Ihsan dapat dicapai kalau
memang amal ibadah (Islam) nya itu benar dan tentunya berdasarkan iman
yang benar juga.
4. Dan Ihsan menurut ilmu Fiqih ialah
perilaku ibadah secara lahir. Orang beribadah secara lahiriyah bias
dikatakan Ihsan (kebagusan). Namun ilmu Tasawuf menggariskan ibadah
Ihsan itu ialah iabadah yang disertai dengan adab dan sopan santun
menurut agama. Adab atau sopan santun didalam ibadah ialah melaksanakan
sifat-sifat yang terpuji (mahmudah) dan menjauhi sifat-sifat tercela
(mazmumah) sifat-sifat terpuji dalam ibadah ialah adanya perilaku suhud,
qona’ah, sabar, tawakkal, mujahadah, ridlo, syukur dan ihlas, khouf,
mahabbah, ma;rifat kemudian khusu’. Adapun sifat-sifat tercela dalam
ibadah ialah, hubbuddunia, thama’, ithbaul hawa (mengikuti hawa nafsu)
‘ujub, riya, takabbur, hasud, dan sum’ah kemudian tidak khusu’.
Walhasil bahwa sesungguhnya Iman itu
berarti Aqidah, Islam berarti Syari’ah dan Ihsan berarti Ahlaqul
karimah. Bab iman masuk kedalam Ushuliddin, Islam masuk kedalam Fiqih
dan Ihsan masuk kedalam bab Tasawuf. Ketiganya ; Iman, Islam dan Ihsan
dalam pengamalan adalah satu kesatuan yang dirumuskan menjadi tiga
perkara : Syari’ah, Thoriqoh, Haqiqoh kemudian menghasilkan
Ma’rifatulloh (berfikir tentang ciptaan Alloh)
Syari’at, Thoriqot, Haqiqot
adalah dari tiga kesatuan terpenting,
uaitu Iman, Islam, dan Ihsan, kemudian Ulama’ Ahlussunah merumuskan
menjadi tiga perkara, ketiganya itu merupakan kesatuan yang tidak bias
dipisahkan, yaitu Syari’at, Thariqat, dan Hakikat. Ketiganya selalu
berhubungan dengan masalah Ibadah dan Mu’amalah, berikut gambaranya :
1. Syari’at Ibadah. Syari’at orang yang
beribadah ialah melengkapi segala syarat dan rukunya, melakukan
kewajiban dan meninggalkan maksiat, yakni didalamnya mencakup Iman dan
Islam, karena syarat sah dan syarat wajib dalam ibadah haruslah
berlandaskan Iman dan Islam. Syari’at Mu’amalah adalah, pertatian dan
perdagangan hendaknya mentaati segala undang undang agama yang bersumber
dari Alqur’an dan Sunnah Rasul yang telah dirumuskan sedemikian rupa
oleh para Ulama’ Mujtahid dalam ilmu Fiqih.
2. Thariqat ibadah. Thariqat orang
beribadah ialah bertujuan karena Allah semata, tidak karena yang lain.
Sebab hanya Allah lah yang dapat menerima atau menolak segala amal
ibadah manusia. Dan Thariqat Mu’amalah ialah hasil keuntungan dari
pertanian dan perdaganganya, dimanfaatkan untuk mencari Ridla Allah
semata, walaupun dari hasil yang mubah, akan tetapi jika di niati untuk
berbakti kepada Allah, semisal untuk menafkahi keluarga, biaya
pendidikan, dan beramal kebaikan yang lain, niscaya tidak akan sia sia.
3. Hakikat Ibadah. Hakukat prang
beribadah ialah, memandang bahwa kemampuan dirinya dan tersedianya
segala sarana yang melengkapi ibadahnya itu secara hakikatnya dari
kemurahan Allah. Tanpa kekuasaan dan kehendak Allah, tidak mungkin
manusi dapat melakukan Ibadah. Sedangkan Hakikat Mu’amalah yaitu
memandang bahwa keberhasilan dalam Usaha pertanian ataupun perdaganganya
adalah atas Inayah dan AnugerahNYA semata. Manusia tidak ada hak
wewenang memastikan keberhasilan sesuatu yang dikerjakan, dan tidak
berhak pula mengakui keberhasilanya disebabkan karena usahanya belaka.
Ibadah dan Mu’amalah, lewat tiga rumusan diatas akan melahirkan
Ma’rifatullah.
Demikian K.H. Ahmad Rifai menyatakan dalam Tahyirah Muhtashar, Abyanal Hawa’ij, Ashnal MIqashad, dan Ri’ayatul Himmah.
Post a Comment