1. Pengangkatan Habibie Menjadi Presiden Republik Indonesia
2. Kebebasan Menyampaikan Pendapat
3. Masalah Dwifungsi ABRI
4. Reformasi Bidang Hukum
5. Sidang Istimewa MPR
6. Pemilihan Umum Tahun 1999
7. Sidang Umum MPR Hasil Pemilihan Umum 1999
Setelah
B.J. Habibie dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia pada tanggal
21 Mei 1998. Tugas Habibie menjadi Presiden menggantikan Presiden
Soeharto sangatlah berat yaitu berusaha untuk mengatasi krisis ekonomi
yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997.
Habibie
yang manjabat sebagai presiden menghadapi keberadaan Indonesia yang
serba parah, baik dari segi ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
Langkah-langkah yang dilakukan oleh Habibie adalah berusaha untuk dapat
mengatasi krisis ekonomi dan politik. Untuk menjalankan pemerintahan,
Presiden Habibie tidak mungkin dapat melaksanakannya sendiri tanpa
dibantu oleh menteri-menteri dari kabinetnya.
Pada
tanggal 22 Mei 1998, Presiden Republik Indonesia yang ketiga B.J.
Habibie membentuk kabinet baru yang dinamakan Kabinet Reformasi
Pembangunan. Kabinet itu terdiri atas 16 orang menteri, dan para menteri
itu diambil dari unsur-unsur militer (ABRI), Golkar, PPP, dan PDI.
Dalam
bidang ekonomi, pemerintahan Habibie berusaha keras untuk melakukan
perbaikan. Ada beberapa hal yang dilakukan oleh pemerintahan Habibie
untuk meperbaiki perekonomian Indonesia antaranya :
- Merekapitulasi perbankan
- Merekonstruksi perekonomian Indonesia.
- Melikuidasi beberapa bank bermasalah.
- Manaikan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat hingga di bawah Rp.10.000,-
- Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang diisyaratkan oleh IMF.
Presiden
Habibie sebagai pembuka sejarah perjalanan bangsa pada era reformasi
mangupayakan pelaksanaan politik Indonesia dalam kondisi yang transparan
serta merencanakan pelaksanaan pemilihan umum yang langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil. Pemilihan umum yang akan diselenggarakan
di bawah pemerintahan Presiden Habibie merupakan pemilihan umum yang
telah bersifat demokratis. Habibie juga membebaskan beberapa narapidana
politik yang ditahan pada zaman pemerintahan Soeharto. Kemudian,
Presiden Habibie juga mencabut larangan berdirinya serikat-serikat buruh
independent.
2. Kebebasan Menyampaikan Pendapat
Pada
masa pemerintahan Habibie, orang bebas mengemukakan pendapatnya di muka
umum. Presiden Habibie memberikan ruang bagi siapa saja yang ingin
menyampaikan pendapat, baik dalam bentuk rapat-rapat umum maupun unjuk
rasa atau demontrasi. Namun khusus demontrasi, setiap organisasi atau
lembaga yang ingin melakukan demontrasi hendaknya mendapatkan izin dari
pihak kepolisian dan menentukan tempat untuk melakukan demontrasi
tersebut. Hal ini dilakukan karena pihak kepolisian mengacu kepada UU
No.28 tahun 1997 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
Namun,
ketika menghadapi para pengunjuk rasa, pihak kepolisian sering
menggunakan pasal yang berbeda-beda. Pelaku unjuk rasa yang di tindak
dengan pasal yang berbeda-beda dapat dimaklumi karena untuk menangani
penunjuk rasa belum ada aturan hukum jelas.
Untuk
menjamin kepastian hukum bagi para pengunjuk rasa, pemerintahan bersama
(DPR) berhasil merampungkan perundang-undangan yang mengatur tentang
unjuk rasa atau demonstrasi. adalah UU No. 9 tahun 1998 tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Adanya
undang – undang tersebut menunjukkan bahwa pemerintah memulai
pelaksanaan sistem demokrasi yang sesungguhnya. Namun sayangnya,
undang-undang itu belum memasyarakat atau belum disosialisasikan dalam
kehidupan masarakat. Penyampaian pendapat di muka umum dapat berupa
suatu tuntutan, dan koreksi tentang suatu hal.
3. Masalah Dwifungsi ABRI
Menanggapi
munculnya gugatan terhadap peran dwifungsi ABRI menyusul turunnya
Soeharto dari kursi kepresidenan, ABRI melakukan langkah-langkah
pembaharuan dalam perannya di bidang sosial-politik.
Setelah
reformasi dilaksanakan, peran ABRI di Perwakilan Rakyat DPR mulai
dikurangi secara bertahap yaitu dari 75 orang menjadi 38 orang. Langkah
lain yang di tempuh adalah ABRI semula terdiri dari empat angkatan yaitu
Angkatan Darat, Laut, dan Udara serta Kepolisian RI, namun mulai
tanggal 5 Mei 1999 Polri memisahkan diri dari ABRI dan kemudian berganti
nama menjadi Kepolisian Negara. Istilah ABRI pun berubah menjadi TNI
yang terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
4. Reformasi Bidang Hukum
Pada
masa Pemerintahan Presiden B.J. Habibie dilakukan reformasi di bidang
hukum Reformasi hukum itu disesuaikan dengan aspirasi yang berkembang
dimasyarakat. Tindakan yang dilakukan oleh Presiden Habibie untuk
mereformasi hukum mendapatkan sambutan baik dari berbagai kalangan
masyarakat, karena reformasi hukum yang dilakukannya mengarah kepada
tatanan hukum yang ditambakan oleh masyarakat.
Ketika
dilakukan pembongkaran terhadapat berbagai produksi hukum atau
undang-undang yang dibuat pada masa Orde Baru, maka tampak dengan jelas
adanya karakter hukum yang mengebiri hak-hak.
Selama
pemerintahan Orde Baru, karakter hukum cenderung bersifat konservatif,
ortodoks maupun elitis. Sedangkan hukum ortodoks lebih tertutup terhadap
kelompok-kelompok sosial maupun individu didalam masyarakat. Pada hukum
yang berkarakter tersebut, maka porsi rakyat sangatlah kecil, bahkan
bias dikatakan tidak ada sama sekali.
Oleh
karena itu, produk hukum dari masa pemerintahan Orde Baru sangat tidak
mungkin untuk dapat menjamin atau memberikan perlindungan terhadap
Hak-hak Asasi Manusia (HAM), berkembangnya demokrasi serta munculnya
kreativitas masyarakat.
5. Sidang Istimewa MPR
Dalam
perjalanan sejarah bangsa Indonesia, telah dua kali lembaga tertinggi
Negara melaksanakan Sidang Istimewa, yaitu pada tahun 1967 digelar
Sidang Istimewa MPRS yang kemudian memberhentikan Presiden Soekarno dan
mengangkat Soeharto menjadi Presiden Rebuplik Indonesia. Kemudian Sidang
Istimewa yang dilaksanakan antara tanggal 10 – 13 Nopember 1998
diharapkan MPR benar-benar menyurahkan aspirasi masyarakat dengan
perdebatan yang lebih segar, lebih terbuka dan dapat menampung, aspirasi
dari berbagai kalangan masyarakat. Hasil dari Sidang Istimewa MPR itu
memutuskan 12 Ketetapan.
6. Pemilihan Umum Tahun 1999
Pemilihan
Umum yang dilaksanakan tahun 1999 menjadi sangat penting, karena
pemilihan umum tersebut diharapkan dapat memulihkan keadaan Indonesia
yang sedang dilanda multikrisis. Pemilihan umum tahun 1999 juga
merupakan ajang pesta rakyat Indonesia dalam menunjukkan kehidupan
berdemokrasi. Maka sifat dari pemilihan umum itu adalah langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Presiden
Habibie kemudian menetapkan tanggal 7 Juni 1999 sebagai waktu
pelaksanaan pemiliahan umum tersebut. Selanjutnya lima paket
undang-undang tentang politik dicabut. Sebagai gantinya DPR berhasil
menetapkan tiga undang-undang politik baru. Ketiga udang-undang itu
disahkan pada tanggal 1 Februari 1999 dan ditandatangani oleh Presiden
Habibie. Ketiga udang-udang itu antara lain undang-undang partai
politik, pemilihan umum, susunan serta kedudukan MPR, DPR dan DPRD.
Munculnya
undang-undang politik yang baru memberikan semangat untuk berkembangnya
kehidupan politik di Indonesia. Dengan munculnya undang-undang politik
itu partai-partai politik bermunculan dan bahkan tidak kurang dari 112
partai politik telah berdiri di Indonesia pada masa itu. Namun dari
sekian banyak jumlahnya, hanya 48 partai politik yang berhasil mengikuti
pemilihan umum. Hal ini disebabkan karena aturan seleksi partai-partai
politik diberlakukan dengan cukup ketat.
Pelaksanaan
pemilihan umum ditangani oleh sebuah lembaga yang bernama Komisi
Pemilihan Umum (KPU). Anggota KPU terdiri dari wakil-wakil dari
pemerintah dan wakil-wakil dari partai-partai politik peserta pemilihan
umum.
Banyak pengamat
menyatakan bahwa pemilihan umum tahun 1999 akan terjadi kerusuhan, namun
pada kenyataannya pemilihan umum berjalan dengan lancar dan aman.
Setelah penghitungan suara berhasil diselesaikan oleh Komisi Pemilihan
Umum (KPU), hasilnya lima besar partai yang berhasil meraih suara-suara
terbanyak di anataranya PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan
pembangunan, Partai Pembangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional. Hasil
pemilihan umum tahun 1999 hingga saat terakhir pengumuman hasil
perolehan suara dari partai-partai politik berjalan dengan aman dan
dapat di terima oleh suara partai peserta pemilihan umum.
7. Sidang Umum MPR Hasil Pemilihan Umum 1999
Setelah
Komisi Pemilihan Umum berhasil menetapkan jumlah anggota DPR dan MPR,
maka MPR segera melaksanakan sidang. Sidang Umum MPR tahun 1999
diselenggarakan sejak tanggal 1 – 21 Oktober 1999. Dalam Sidang Umum itu
Amien Rais dikukuhkan menjadi Ketua MPR dan Akbar Tanjung menjadi Ketua
DPR. Sedangkan pada Sidang Paripurna MPR XII, pidato pertanggung
jawaban Presiden Habibie ditolak oleh MPR melalui mekanisme voting
dengan 355 suara menolak, 322 menerima, 9 abstain dan 4 suara tidak sah.
Akibat penolakan pertanggungjawaban itu, Habibie tidak dapat untuk
mencalonkan diri menjadi Presiden Republik Indonesia.
Akibatnya
memunculkan tiga calon Presiden yang diajukan oleh fraksi-fraksi yang
ada di MPR pada tahap pencalonan Presiden diantaranya Abdurrahman Wahid
(Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, dan Yuhsril Ihza Mahendra. Namun
tanggal 20 Oktober 1999, Yuhsril Ihza Mahendra mengundurkan diri. Oleh
karena itu, tinggal dua calon Presiden yang maju dalam pemilihan itu,
Abdurrahaman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Dari hasil pemilihan
presiden yang dilaksanakan secara voting, Abudurrahman Wahid terpilih
menjadi Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 21 Oktober 1999
dilaksanakan pemilihan Wakil Presiden dengan calonnya Megawati
Soekarnoputri dan Hamzah Haz. Pemilihan Wakil Presiden ini kemudian
dimenangkan oleh Megawati Soekarnoputri. Kemudian pada tanggal 25
Oktober 1999 Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati
Soekarnoputri berhasil membentuk Kabinet Persatuan Nasional.
Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) menduduki jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia
tidak sampai pada akhir masa jabatanya. Akibat munculya ketidakpercayaan
parlemen pada Presiden Abdurrahman Wahid, maka kekuasaan Abdurrahman
Wahid berakhir pada tahun 2001. DPR/MPR kemudian memilih dan mengangkat
Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden Republik Indonesia dan Hamzah
Haz sebagai Wakil Presiden Indonesia. Masa kekuasaan Megawati berakhir
pada tahun 2004.
Pemilihan
Umum tahun 2004 merupakan momen yang sangat penting dalam sejarah
pemerintahan Republik Indonesia. Untuk pertama kalinya pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat
Indonesia. Pada pemilihan umum ini Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia dan Jusuf Kalla sebagai
Wakil Presiden Republik Indonesia untuk masa jabatan 2004-2009.
Post a Comment