PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DAN PEMAJUAN HAM DI INDONESIA

Perkembangan upaya pemajuan, penghormatan, penegakan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia merupakan perjalanan bangsa yang panjang. Mulai dari lahirnya kesadaran untuk bernegara dan menentukan nasib sendiri, pada masa Kebangkitan Nasiaonal, sampai dengan pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Penyususunan Rancangan Aksi Nasional Hak Asasi Manusia dan berbagai upaya penegakan dan pemenuhan Hak Sipil dan Politik, maupun Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang akhir-akhir ini semakin mencuat di tengah-tengah derap reformasi. Pada tingkat kerjasama Regional Asia Pasifik misalnya, dalam workshopnya yang ke 12 yang diselenggarakan di Doha, Qatar, pada tnggal 4 sd 6 Maret 2004 yang lalu, disepakati untuk mendorong negara-negara di kawasan Asia Pasifik untuk melakukan empat kegiatan utama 1- Pendirian dan Penguatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2- Penyususnan Rancangan Aksi Nasional HAM, 3- Penyelenggaraan Pendidikan HAM di semua jenjang pendidikan, 4- Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Kegiatan penegakan HAM dan perlindungannya semakin menjadi agenda nasional yang  penting di kawasan Asia Pasifik, termasuk di Indonesia. Memasuki millennium baru di Abad 21, bangsa-bangsa di dunia semakin dituntut untuk melakukan proses demokratisasi dan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih (good governance), penguatan masyarakat madani (civil society) dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, agar dapat memasuki pergaulan masyarakt dunia yang maju, adil, damai dan beradab. Selain untuk menciptakan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang bermartabat, berkeadilan dan demokratis. Tuntutan demokratisasi ini sebenarnya telah bergaung sejak terjadinya proses dekoloniasi di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin, setelah berakhirnya Perang Dunia II, pada awal tahun 40-an.. Demikian pula tuntutan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) ini berpuncak dengan disahkan dan diprokamasikannya the Universal Declaration of Human Rights, oleh resolusi Majlis Umum PBB pada tgl. 10 Desember 1948  di Lake Success. Meskipun perkambangan pemikiran dan  perumusan serta pelaksanaan demokrasi dan Hak Asasi Manusia tersebut telah dimulai oleh para filsuf Yunani pada abad-abad sebelum Masehi. Sedangkan penguatan masyarakat madani (civil society) ini semakin aktual dalam masyarakt dunia, setelah berakhrinya era perang dingin; dengan runtuhnya bekas Uni Soviet, pada akhir tahun 1980, Meskipun konsep tentang pembangunan masyarakat madani dalam hubungannya dengan proses demokratisasi ini secara jelas, dirumuskan oleh tokoh sosiologi dari Perancis, Alexis de Toqcuiville (1805-1859) yang menulis buku “Democracy in America“, setelah kunjungannya ke Amerika Serikat pada 1835.


2-Demokrasi dan Pemajuan Hak Asasi Manusia

Perjuangan ke arah demokratisasi telah menandai berbagai peristiwa sosial dan politik di berbagai belahan dunia selama paruh kedua abad ke  20 yang lalu. Memasuki millennium baru di abad 21 ini, tuntutan demokratisasi ini semakin nyaring disuarakan oleh para pecinta kemanusiaan, keadilan dan perdamaian. Sebuah perjuangan panjang yang sekaligus merupakan proses belajar bagi bangsa-bangsa tersebut untuk semakin dewasa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut Faisal Siagian, perjuangan menegakkan demokrasi harus memiliki salah satu tujuan utamanya ialah pembentukan masyarakat politik yang demokratis, termasuk di sini pemilihan kepala daerah secara fair dan demokratis melalui mekanisme persaingan secara wajar, sehingga proses politik setelah pemilihan itu masyarakat berada dalam keadaan suasana damai, teratur dan stabil. Demokrasi dapat berkembang bukan hanya karena adanya kepemimpinan yang demokratis saja, melainkan juga karena tingginya partisipasi masyarakat dalam sistem politik nasional dan lokal. (Faisal Siagian, 1995, p.132)

Setidaknya ada tiga ciri dalam suatu sistem pemerintahan yang Demokratis, yaitu : 1- persaingan yang ekstensif untuk menduduki posisi-posisi politis negara melalui pemilihan yang teratur, bebas dan adil; 2- adanya akses untuk partisipasi politik yang menyeluruh sehingga tidak seorang dewasa pun yang tidak dicakupnya; 3- kebebasan pers, kebebasan berserikat dan ditegakkannya hukum, yang cukup untuk menjamin bahwa persaingan dan partisipasi politik tersebut menjadi bermakna dan otentik (Larry Diamond, 1994, p. 10).

Dalam perkembangan pemikiran maupun praktek demokrasi di berabagai negara di dunia, telah berkembang berbagai bentuk demokrasi, seperti demokrasi langsung, demokrasi perwakilan, demokrasi konstitusional, demokrasi liberal, demokrasi kapitalis, demokrasi sosial dll.. Namun apapun atribut yang dilekatkan kepada demokrasi, menurut Mangadar Situmorang, yang paling penting diperhatikan adalah bahwa ide-ide dan eksperimen-eksperimen politik tersebut menegaskan adanya sejumlah kriteria universal bagi demokrasi. Kriteria-kriteria tersebut antara lain :

1-       Adanya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan;
2-       Adanya kebebasan berpendapat, berusaha, dan hak milik;
3-       Adanya rule of law yang disepakati dan ditaati oleh setiap lapisan masyarakat, termasuk oleh pemerintah. Hukum harus membatasi kekuasaan penguasa dan melindungi hak-hak rakyat;
4-       Adanya distribusi dan pergantian kekuasaan secara damai. (Mangadar Situmorang, 1995, p. 166)


Dalam kaitan antara demokrasi, desentralisasi dan otonomi, salah satu pendekatan mutakhir dalam ilmu politik yang mampu membedah perlunya demokratisasi, desentralisasi dan otonomi, termasuk di dalamnya persoalan pemilihan Kepala Daerah, menurut Faisal Siagian, adalah “pendekatan hubungan negara dan masyarakat” (state and society realtions approach).

Menurut pendekatan ini, masyarakat madani (civil society) adalah suatu bidang dalam hidup bermasyarakat yang terletak di antara keluarga per orang pada satu pihak dalam kehidupan bernegara, dan proses pemilihan untuk menetapkan siapa yang memerintah negara pada pihak lainnya. Alfred Stephen, merumuskan masyarakat madani (civil society) sebagai berikut : “Civil society ” adalah arena tempat beradanya gerakan sosial (seperti perhimpunan wanita, kelompok-kelompok agama, organisasi profesi dll) dan organisasi kemasyarakatan dari pelbagai golongan dan kelompok profesi (seperti perhimpunan ahli hukum, persatuan wartawan, serikat buruh, asosiasi pengusaha dll), yang mencoba membentuk diri mereka dalam suatu keteraturan supaya mereka dapat menyatakan dirinya dan menyalurkan kepentingan-kepentingannya (Alfred Stepan, 1988, p. 3-4)

Penguatan masyarakat madani ini merupakan prasyarat bagi pelaksanaan demokratisasi, desentralisasi dan otonomi daerah, misalnya penguatan gerakan-gerakan, lembaga-lembaga, organisasi-organisasi masyarakat yang bersifat otonom di daerah, yang mengarahkan kegiatnnya terhadap pemerintah sebagai cara untuk menyalurkan aspirasi dan pilihan-pilihan mereka demi menandingi pilihan dan aspirasi yang dipaksakan oleh pemerintah kepada mereka.

Menurut catatan Faisal Siagian, telah terjadi berbagai perkembangan yang menarik dalam proses desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia akhir-akhir ini, yang antara lain disebabkan oleh :

1-        Desakan Demokratisasi. Adanya desakan demokratisasi di tingkat pusat yang kemudian merambah ke tingkat daerah. Munculnya tuntutan demokratisasi bagi pemilihan beberapa Kepala Daerah di Indonesia sebenarnya disebabkan oleh munculnya arus bawah.
2-       Aspirasi dari bawah. Aspirasi dari bawah dapat berupa tuntutan dan dukungan. Aspirasi dari bawah sudah menjadi trade mark  yang tidak bisa dinafikan. Apabila dinafikan justru akan menambah gejolak di daerah.
3-       Political appeal.Political appeal adalah kiat politik daerah untuk menarik perhatian pemerinrtah pusat. Tekanan atau desakan demokratisasi dari perspektif regional menyangkut geopolitik daerah. Daerah-daerah yang realtif terpencil biasanya suka membuat move untuk menarik perhatian pusat.
4-       Pluralisme politik. Munculnya pluralisme politik di daerah adalah inheren dengan demokratisasi dalam pemilihan Kepala Daerah. Berbagai macam unjuk rasa merupakan cerminan dari pluralisme politik lokal itu. (Faisal Siagian, opcit, p.129).

Selanjutnya, di samping masalah demokratisasi, maka faktor lain yang turut mempengaruhi proses desentralisasi dan otonomi daerah ini adalah berupa keterbukaan di tingkat lokal. Keterbukaan idi tingkat lokal tersebut mempunyai tiga makna penting :

a-       Terbukanya kesempatan bagi masyarakat di daerah untuk secara bebas mengritik kebijakan pemerintah pusat kepada daerah, termasuk kritik terhadap pola kebijakan pembangunan di daerah.
b-       Terbukanya kesempatan bagi masyarakat di daerah untuk berbeda pendapat dengan pemerintah pusat, perbedaan mana harus diakomodasikan oleh pemerintah pusat dengan menyerap aspirasi daerah.
c-       Terbukanya kesempatan bagi masyarakat di daerah untuk menolak Kepala Daerah yang kurang berkenan dengan aspirasi daerah. (ibid)


Demokrasi tidak hanya berarti hak memilih anggota DPR dan pemerintah, meskipun ini juga hal yang penting. Demokrasi merupakan kesuluruhan bentuk hak yang harus dimiliki warga negara apabila suatu pemerintahan itu terbuka, dapar dipercaya dan partisipatif. Hak-hak itu meliputi kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, kebebasan berserikat, misalnya serikat buruh atau kelompok penekan; akses kepada informasi, khususnya mengenai renacana pemerintah terutama bagi mereka yang terkena secara langsung dan hak untuk diajak berbicara dalam keputusan seperti ini, serta kebebasan dari segala bentuk diskriminasi, apakah itu berdasarkan jenis kelamin, ras maupun warna kulit.

Gerakan wanita telah mengikis banyak kendala yang melingkupi setengah umat manusia yang berada dalam status inferior. Gerakan lingkungan hidup telah emaksa para pemimpin politik dan bisnis untuk kembali melihat sumber daya  alam dengan penglihatan baru. Dan kampanye di banyak negara oleh suku-suku yang ternacam dengan adanya “pembangunan” dan “kemajuan” , telah membawa para penduduk asli menjadi sorotan. (John Clark, 1995, p. 18)


3- Perkembangan Upaya Perlindungan terhadap Hak-hal Asasi Manusia dalam Masyarakat yang Beradab

Sebelum dunia memiliki Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Manusia pada tahun 1948, para pendiri Republik Indonesia (founding fathers) sudah menyadari pentingnya HAM sebagai konsep yang mendasari suatu negara. Pada waktu menysun UUD 19945, telah terjadi perdebatan mengenai hal ini, teruatama antara Bung Karno, yang didukung oleh Supomo sebagai arsitek utama UUD, dengan Bung Hatta dan Muhammad Yamin. Keempat tokoh ini pada umumnya sepakat mengenai konsep negara. Tetapi Bung Karno dan Supomo berpendapat bahwa HAM, yang berasal dari ideologi liberalisme,  karena itu intinya adalah individualisme, tidak perlu dicantumkan dalam pasal-pasal UUD. Sebaliknya, Bung Hatta dan Yamin tegas berpendapat perlunya mencantumkan pasal mengenai kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dan tulisan, untuk menjamin agar negara tidak terjerumus ke dalam konsep negara kekuasaan. Pada akhirnya pandangan Bung Hatta dan Yamin diterima, tetapi dengan kompromi, yaitu dengan dicantumkannya kalimat “diatur oleh undang-undang”.

Menurut Bung Hatta, UUD 1945 memuat ide HAM dalam Pantjasila dan beberapa pasal mengenai hak asasi warga negara. Sila ke 4, Kerakyatan, mencerminkan HAM di bidang politik, sedangkan sila ke 5, Keadilan sosial, berisikan dimensi ekonomi dari HAM. Bung Hatta juga menjelaskan bahwa pengertian HAM secara lebih mendasar dirumuskan dengan istilah lain, yaitu “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, yang selanjutnya berakar pada sila “Ketuhanan yang Maha Esa”. Beberapa pasal dalam batang tubuh UUD 1945, menurut Hatta, adalah eksplisitasi dari prinsip HAM, yaitu :

1-       Pasal 27, tentang persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan serta hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan;
2-       Pasal 28, tentang kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran dan tulisan;
3-       Pasal 29, tentang kemerdekaan tiap-tiap penduduk, untuk memeluk agamanya masing-masing;
4-       Pasal 30, tentang hak dan kuwajiban ikut serta dalam usaha pembelaan negara;
5-       Pasal 31, tentang hak mendapat pengajaran; dan
6-       Pasal 34, tentang hak fakir miskin dan anak-anak yang terlantar untuk dipelihara oleh negara.

Sebenarnya, menurut M. Dawam Rahardjo, masih dapat ditambahkan Pasal 32, yang berbunyi “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”, dan padal 36 yang berbunyi “Bahasa negara adalah bahasa Indonesia, yang mengandung makna HAM, apabila dilihat pada penjelasan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa pemerintah mempunyai kewajiban membina kebudayaan-kebudayaan, termasuk bahasa-bahasa daerah yang terarah kepada pembentukan kebudayaan nasional. (M.Dawam Rahardjo 1992, p. 47)

Setelah berakhirnya Perang Dunia II, kedudukan pribadi manusia memperoleh pengakuan yang lebih luas dan kokoh dalam hubungan internasional. Piagam PBB memuat tiga gagasan utama, yaitu hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri, hak asasi manusia, dan gagasan tentang perdamaian. Penerimaan piagam PBB berarti telah diberikan bentuk dan kehidupan kepada ideologi hak-hak asasi manusia dan ideologi penentuan nasib sendiri. Stelah melalui perdebatan yang panjang di antara anggota-anggota PBB terutama antara anggota-anggota PBB , terutama antara Blok Barat dan Blok Sosialis, akhirnya pada 1948 diproklamirkan Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia. Deklarasi ini didirikan di atas empat tonggak utama :

1-       Hak-hak pribadi, antara lain, hak persamaan, hak hidup, kebebasan, keamanan dan sebagainya, yang termuat dalam pasal 3 sd. 11;
2-       Hak-hak yang dimiliki oleh individu dalam hubungannya dengan kelompok-kelompok sosial di mana ia ikut serta, yaitu hak kerahasiaan kehidupan keluarga dan hak untuk menikah; kebebasan bergerak di dalam atau di luar negara nasional; untuk memiliki kewarganegaraan; untuk mencari mencari tempat suaka dalam keadaan adanya penindasan; hak-hak untuk mempunyai hak milik dan untuk melaksanakan agama, yang semuanya diatur dalam pasal 12 sd. 17;
3-       Hak dan kebebasan sipil dan hak-hak politik yang dijalankan untuk memberikan kontribusi bagi pemebntukan instansi-instansi pemerintahan atau ikut serta dalam proses pembuatan keputusan, yang meliputi kebebasan berkesadaran, berpikir dan menyatakan pendapat, kebebasan berserikat dan berkumpul, hak memilih dan dipilih, hak untuk menghubungi pemerintah dan badan-badan pemerintahan umum, diatur dalam pasal 18 sd. Pasal 21;
4-       Hak-hak ekonomi dan sosial, yaitu hak-hak dalam bidang hubungan-hubungan perburuhan, produksi dan pendidikan; hak untuk bekerja dan mendapatkan jaminan sosial dan hak untuk memilih pekerjaan dengan bebas, untuk mendapatkan upah yang sama atas kerja yang sama, hak untuk membentuk dan ikut serta dalam serikat-serikat buruh, hak untuk beristirahat dan bersenang-senang, memperoleh jaminan kesehatan, pendidikan dan hak untuk ikut serta secara bebas dalam kehidupan budaya masyarakat, yang diatur dalam pasal 22 sd. Pasal 27.

Pada tahun 1966 PBB mengesahkan dua kovenan internasional untuk Hak-hak Asasi Manusia, yaitu Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak ekonomi, Sosial, Budaya yang secara moral dan politik mengikat negara-negara anggota PBB. Ketiga dokumen tersebut dapat dikatakan merupakan perangkat normatif internasional Hak-hak Asasi manusia yang setiap negara anggota PBB diminta, bahkan disesak oleh masyarakat dunia untuk mematuhinya. (A. Hakim G. Nusantara, dalam Antonio Cassesse, 1994, p xxi)


4- Perspektif Baru dalam Hak-hak Asasi Manusia

Masalah hak-hak asasi manusia dewasa ini telah memperoleh perspektif baru dalam hubungannya dengan proses globalisasi yang pada saat ini tengah berlangsung. Juga lantaran berbagai perubahan yang terjadi di berbagai kawasan di dunia, yang melahirkan berbagai fenomena baru, seperti semakin berkembang dan menguatnya kerjasama dan solidaritas masyarakat sipil (civil society), berkembangnya konsep-konsep baru tentang keamanan (security) dan perdamian yang berkelanjutan (sustainable peace), konsep kedaulatan (sovereignty) dan dipikirkannya kembali konsep negara kebangsaan (nation-state), atau setidak-tidaknya kebijakan-kebijakan tentangnya dalam konteks globalisasi.

Kalau pada tahun 1948 yang lalu, Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia dirumuskan di dalam 30 pasal secara sumir, maka pada tahun 1966 telah dilakukan penjabaran dari Deklarasi tersebut di dalam dua kovenan international : International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, dan International Covenant on Civil and Political Rights. Kalau Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang merupakan generasi pertama hak-hak asasi manusia itu lebih menekankan hak politik dan hak sipil, sedang konvensi internasional tersebut di atas yang juga di sebut generasi kedua haka-hak asasi manusia telah mengembangkan hak sosial, ekonomi dan budaya secara luas, maka kelahiran “Hak Asai atas Pembangunan “ (The Rights to Develpoment) pada Sidang Umum PBB Desember 1986 tekah mengembangkan  Collective Rights dan Poeples Rights’ yang lebih luas. Inilah yang disebut hak-hak asasi manusia generasi ketiga (lihat Clarence Diaz).

Baru-baru ini telah pula dilahirkan the International Convention on the Child dan The International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families yang pada saat ini tengah dalam proses ratifikasi. Proses ratifikasi dari Konvensi tentang Hak-hak bagi Anak-anak ini mengalami perkembangan yang  sangat anak ini mengalami perkembangan  yang sangat cepat dan menggembirakan. Hal ini antara lain disebabkan oleh  karena peran lembaga swadaya masyarakat internasional yang selama ini telah mengadvokasi Collective Rights dan mengembangkan program-program yang berhubungan dengan anak-anak, peran UNICEF, Center for Human Rights dan World Summit for Children serta dukungan dari berbagai pemerintah. Misalnya, pada bulan Desember 1990 yang lalu, telah diselenggarakan dua acara international tentang hak asasi bagi anak-anak : A Global Consultation on Implementation Strategies for Children’ Rights, yang diselenggarakan di UNICEF International Child Development Centre di Florence, Itali dan A Workshop on the Rights of Child di New Delhi, India, yang didukung oleh Pusat Hak Asasi Manusia PBB. Selanjutnya, pada bulan Februari 1991, telah dipilih sepuluh orang Komite untuk Hak Asasi bagi Anak-anak yang kemudian mengadakan rapat di Jenewa pada tanggal 25 Nopember hingga 13 Desember 1991.

Oleh karena sentralnya masalah hak-hak asasi manusia, yang merupakan persoalan mendasar bagi kehidupan manusia, baik secara pribadi maupun kelompok dan dalam hubungan antar  bangsa, baru-baur ini isu tersebut dijadikan tema sentral oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada konperensi tahunannya bersama lembaga swadaya masyarakat internasional. Kali ini, masalah keadilan dan hak asasi di bicarakan dalam konteks perdamaian, keadilan dan pembangunan dalam rangka Penyusunan Tatanan Dunia Baru. Di dalam konperensi internasional yang diselenggarakan di markas besar PBB, pada tanggal 11-13 September 1991 tersebut, hadir 1.000 orang dari berbagai pusat studi dan lembaga swadaya masyarakat dari seluruh dunia. Mereka selama ini menekuni berbagai bidang kajian dan kepedulian sosial yang beraneka ragam-mulai dari lembaga keagamaan dan organisasi wanita, lembaga pengembangan media dan informasi sampai dengan pusat studi perdamaian dan masa depan.

Selama ini lembaga-lembaga studi, lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan lembaga-lembaga sosial keagamaan tersebut telah membangun jaringan regional dan internasional yang telah meningkatkan efektifitas studi, program aksi maupun kegiatan advokasinya. Dan  mereka telah pula melakukan berbagai inisiatif bagi upaya-upaya perdamaian denga berbagai kajian dan penelitian perdamian, pendidikan perdamaian dan diplomasi –bukan saja di kawasan  yang sedang terjadi komplik, tetapi juga didalam masyarakat dunia secara luas. Bebagai  inisiatif, kajian dan program pendidikan serta program aksi ini telah memberikan perspektif baru dalam melihat permasalahan dunia dan kemanusiaan, serta memberikan alternatif bagi pembangunan yang lebih adil, damai, berkelanjutan dan partisipatif.


4-  Hak Asasi Atas Pembangunan dan Perdamaian

Sebenarnya deklarasi “Hak Asasi atas Pembangunan” ini telah lama direncanakan dan disusun, sebelum akhirnya disahkan oleh Sidang Umum PBB pada tanggal 4 Desember 1986. Semenjak tahun 1981 sutu kelompok kerja yang terdiri dari para ahli tentang Hak Asasi atas Pembangunan telah dibentuk oleh Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC), untuk melakukan studi tentang wilayah dan isi dari “Hak Asasi atas Pembangunan” ini dan cara-cara yang paling efektif untuk menjamin realisasinya di semua negara dalam bidang hak ekonomi, sosial dan budaya, yang didukung oleh instrumen internsional yang beraneka ragam. Secara khusus perhatian diberikan kepada kemungkinan hambatan-hambatan yang dihadapi oleh negara-negara yang sedang berkembang di dalam upaya mereak untuk menjamin terlindunginya hak-hak asasi manusia.

Jauh sebelum itu, sebenarnya beberapa deklarasi telah dirancang di lingkungan PBB. Namun pemikiran dan istilah ‘Hak Asasi atas Pembangunan” tidak pernah muncul dan dipakai orang pada lingkaran internasional, sampai dengan pada tahun 1966, ketika Menteri Luar Negeri Senegal menyampaikan pidatonya di Sidang Umum PBB, saat ia mengemukakan tentang perlunya penyusunan “Tatanan Ekonomi Dunia Baru”. Di situ ia mengatakan :

Not only must we affirm our right to development, but we must also take the steps which will enable this rights to become a realty. We must build a new system, based not only on the theoretical affirmation of the sacred rights of peoples and nations but on the actual enjoyment of these rights ‘ (lihat “Human Rights Newsletter’)

Untuk beberapa lama pemikiran tentang  Rights to Development ini hilang kembali dari peredaran, dan pada tahun 1972 ia muncul kembali ke permukaan ketika Jaksa Agung Senegal, Keba M’Baye menyampaikan kuliah perdana di Internasional Institute of Human Rights di Strasbourg, yang bertajuk : “The Rights to Develoment as Human Rights”. Keba M’ Baye sendiri memegang peran yang sangat penting di dalam menggoalkan resolusi 4 (XXXIII) oleh Komisi Hak Asasi Manusia pada tahun 1977. Dalam paragrap 4 resolusi terseut, dinyatakan bahwa ECOSOC harus memanggil Sekretaris Jenderal PBB, yang bekerjasama dengan UNESCO dan lembaga-lembaga lain yang berkompetenm unutk melakukan kajian tentang dimensi internasional dari Rights to Development ini.

Dari proses perumusan serta pengesahan dapat dilihat bahwa deklarasi hak asasi atas pembangunan ini merupaka inisiatif dari kalangan masyarakat Dunia Ketiga. Setalah melewati proses yang panjang, akhirnya inisiatif itu diterima oleh Sidang Umum PBB pada tanggal 4 Desember 1986. Deklarasi ini diterima dengan pemungutan suara, di mana 146 suara menyatakan setuju, melawan 1 (satu) suara menolak (Amerika Serikat) dan 8 (delapan) suara abstain (Denmark, Finlandia, Iceland, Swedia, Isreal, Jepang, Inggeris, Republik Federal Jerman). Dan hanya Norwegia yang meerima deklarasi tersebut di antara negara-negara Skandinavia.

“Hak Asasi  Pembangunan” tersebut disusun berdasarkan tujuan dan prinsip dari Deklarasi PBB yang berhubungan dengan pencapaina kerjasama internasional dalam memecahkan masalah internasional di bidang ekonomi, sosial, budaya dan kemanusian, sesrta dalam meningkatkan dan medorong penghormatan terhadap hak-hak asasi dan kebebsan dasar bagi semua tanpa pembedaan keturunan, jenis kelamin , bahasa dan        kepercayaan. PBB menyadari bahwa pembangunan merupakan proses yag komprehensif  di dalam bidang sosial, ekonomi, budaya dan politik, yang bertujuan untk kesejahteraan seluruh penduduk dunia dan semua individu atas dasar partisipasi mereka secara aktif, bebas dan bermakna di dalam pembangunan dan di dalam pembagian yang adil dan layak terhadap hasil pembangunan tersebut. Ia juga mempertimbangkan bahwa, di bawah provisi Deklarasi Universal untuk Hak Asasi Manusia,setiap pribadi berhak untuk menikmati tatanan sosial dan dunia di mana hak-hak dan kebebasannya yang tercantum di dalamnya dapt direalisasikannya seara penuh.

Kesadaran bahwa perdamaian internasional dan keamanan merupakan unsur yang essensial bagi pelaksanaan pembangunan telah mengilhami perumusan Hak Asasi Pembangunan ini. Hal ini meneguhkan kembalii hubungan yang sangat dekat antara perluncutan senjata untuk sangat mempengaruhi kemajuan di bidang pembangunan. Demikian pula, sumber daya yang di belanjakan lewat program perlucutan senjata hendaknya di sumbangkan bagi pembangunan sosial dan ekonomi serta kesejahtraan semua rakyat, khususnya bagi masyarakat di negara-negara yang sedang berkembang.

Landasan perumusan “Hak Asasi atas Pembangunan” ini adalah pengakuan bahwa pribadi manusia merupaka sentral dan subyek bagi proses pembangunan. Dan kebijakan pembangunan hendaknya menjadikan manusia sebagai parisipan dan sasaran utama baii pembangunan. Upaya pada tingkat intenasional untuk meningkatkan dan melindungi hak-hak asasi hendaknya dibarengi dengan upaya untuk menyusun tatanan ekonomi internasional baru. Atas dasar itu maka disepakatilah Deklarasi tentang Hak-hak asasi atas Pembangunan.

Isi dari “Hak Asasi Atas Pembangunan” ini antara lain hal-hal yang fundamental tentang hubungan antara hak-hak asasi manusia pada umumnya dengan masalah pembangunan sosial, ekonomi, budaya dan politik. Misalnya, di dalam pasal 1 disebutkan bahwa, “ Hak Asasi atas Pembangunan” adalah hak-hak asasi manusia yang tidak terpisah-pisahkan dimana setiap pribadi manusia dan semua rakyat berhak untuk berpartisipasi, memberikan sumbangannya dan untuk menikmati pembangunan sosial, ekonomi, budaya dan politik, dimana seluruh hak-hak asasi manusia dan kebebasab dasar dapat sepenuhnya direalisasikan. Kedua, “ Hakm Asasi  atas Pembanguna” juga mengimplikasikan realisasi penuh dari hak rakyat untuk penetuan nasib sendiri, yang termasuk di dalamnya hak untuk provisi yan relevan bagi perjanjian internasional untuk hak-hak asasi manusia, pelaksanaan hak yang tak terpisahkan bagi kedaulatan terhadap kekayaan dan sumber daya alam.

Pasal 9 lebih ditekankan kepada peran dan kewajiban negara untuk mengambil langkah, pada tingkat nasional, untuk merealisasikan “ Hak Asasi Atas Pembangunan” dan menjamin kesamaan kesempatan untuk semua di dalam akses terhadap sumber-sumber dasar, pendidikan, pelayanan kesehatan, pangan, perumahan, pekerjaan dan pembagian pendapatan yang layak. Pengukuran yang efektif harus dilakukan untuk menjamin bahwa kaum perempuan memiliki peran yang aktif di dalam proses pembangunan. Reformasi Ekonomi dan sosial yang tepat harus pula dilakukan dengan pandangan untuk mengatasi semua masalah ketidakadilan sosial.


Masih panjang jalan yang harus ditempuh dalam proses demokratisasi dan penghormatan serta pembelaan terhadap Hak-hak asasi manusia. Dan tidak selamanya jalan tersebut datar dan mulus. Bahkan kadang-kadang penuh onak dan duri. Namun jalan tersebut adalah jalan yang mulia bagi masa depan bangsa dan negara, bagi tegaknya keadilan dan perdamaian dan bagi tegaknya nilai-nilai luhur kemanusiaan.
source:http://habibch.wordpress.com
Share this article :
 

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BAHAN AJAR GURU - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger